Puisi dan Pencarian Identitas Diri Remaja)*

Aku mempunyai sebuah kebiasaan yaitu seringkali berjalan kaki kalau aku berpergian dalam kota. Teman-teman menyebutnya walk-coholic (maniak jalan), dimana pengertiannya kata tersebut mengacu pada pengertian istilah work-coholic. Terserah apa pun istilah yang dilekatkan pada kebiasaan itu, yang penting, selama tempat yang ditujuan berada dalam jarak yang memungkinkan ditempuh dengan “goyang lutut”, maka aku lebih suka “goyang lutut” daripada naik kendaraan.

Suatu siang, kira-kira, tiga tahun yang lalu (aku lupa tanggal persisnya), aku melewati Jalan Dago (Ir. Djuanda), Bandung. Matahari tidak berkompromi siang itu. Kulitku yang cenderung putih (sich?), sampai kemerah-merahan dipanggang terik cahayanya. Peluh mengucur dari segenap pori-pori tubuhku seperti cucian yang diperas. Debu bercampur asap dari pembakaran tidak sempurna dari mesin-mesin kendaraan yang berlalu lalang berterbangan memenuhi udara. Menambah panas, sesak, dan tentu saja melekat di kulitku, terutama kakiku yang hanya berselimutkan celana pendek sebatas lutut.

Sesampai di depan gedung sekolah menengah yang terdapat di jalan itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah batu sebesar kepalan tangan tiba-tiba melayang ke arahku. Refleks, aku meloncat. Namun loncatan itu hanya sedikit menolong, batu yang tadinya mengarah ke kepala, akhirnya mampir dengan telak di tulang keringku. Kemudian aku lihat batu-batu lain susul menyusul berterbangan. Kuperhatikan asal batu yang melayang tersebut. Terlihat dua kelompok orang, sama-sama mengenakan seragam kemeja putih dan celana panjang abu-abu, lempar melempar batu. Sementara mulut mereka berteriak dengan kata-kata makian yang ditujukan pada kelompok lain. Sejenak aku terdiam, dan kemudian aku berlari ke jembatan penyeberangan yang tidak jauh dari posisiku. Aku naiki jembatan penyeberangan itu, kemudian dari atas aku menyaksikan Perang Baratayuda zaman modern itu. Pada zaman dulu, dalam Perang Baratayuda, anak panah yang berterbangan, tapi di zaman modern ini, batu yang berterbangan. Sambil mengusap tulang keringku yang terkena amunisi nyasar, aku teringat kembali pada teori-teori yang pernah kuperoleh di bangku kuliahan dulu.

“Masa remaja sering disebut dengan masa penuh badai dan ketegangan (storm and stress),” dosenku mengawali penjelasannya. “Terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat, sehingga membutuhkan kemampuan penyesuaian diri menghadapi perubahan tersebut. Perubahan yang cepat itu juga melahirkan energi besar yang harus disalurkan oleh remaja.”

Aku tersenyum simpul di atas jembatan penyeberangan itu. Mungkinkah batu-batu yang melayang itu merupakan pengejawantahan dari energi remaja yang besar itu?

“Pencarian identitas diri (self identity) merupakan tugas perkembangan yang diemban remaja,” lanjut dosenku itu sambil memperlihatkan bagan-bagan yang ditayangkan melalui OHP. “Remaja selalu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ‘siapa aku?’ dan ‘kemanakah aku akan pergi?’ Jawaban atas pertanyaan itu yang kemudian diformulasikan menjadi standard tingkah laku, dimana dalam masa pencarian jawaban itu tentu terjadi interasi sosial, terutama interaksi dengan orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman sebaya, yang sangat mempengaruhi standard tingkah laku yang terbentuk. Seringkali terjadi perbedaan standard tingkah laku antara keluarga (orang tua) dengan teman sebaya, yang kemudian kembali melahirkan badai dan ketegangan bagi remaja.”

Aku teringat pada masa remajaku. Perubahan fisik dan mental yang cepat, yang melahirkan energi yang besar dan mendesak untuk disalurkan, proses pencarian jati diri yang diwarnai perbedaan standard tingkah laku keluarga dan teman sebaya, semua telah aku rasakan. Semua memang melahirkan badai dan ketegangan.

Beruntung aku pada masa itu mengenal dunia kepenulisan kreatif. Energi yang besar aku kompensasikan pada tulisan-tulisan kreatif seperti puisi, cerpen, buku harian, dan tulisan-tulisan lainnya. Akan tetapi, walau telah tersalurkan lewat dunia penulisan kreatif, ternyata masih banyak energi dalam diriku. Lagi-lagi pada masa itu aku menemukan penyaluran lain, yaitu membaca, dimana dengan membaca aku menabung bahan-bahan untuk menulis.

***

Tak mau terbelenggu, narsis dan penuh percaya diri / Ekspresikan diri, luapkan segala rasa yang ada / Tanpa tahu apa yang terjadi selanjutnya / Berusaha keluarkan beban di pundak / Saling berbagi cerita bersama sahabat / Penuh keceriaan dan transisi kegembiraan

(Iman Budi Santosa, Puisi rasa umur 17-an)

***

Sengaja aku memberikan ilustrasi pengalaman pribadi dan mengutip puisi Iman Budi Santosa (IBS) yang berjudul rasa umur 17-an untuk mengawali tulisan ini. Ada kesamaan antara pengalaman itu dengan isi puisi tersebut. Remaja yang aku lihat dalam Perang Baratayuda zaman modern, aku yang menyalurkan energi ke dunia kepenulisan kreatif, dan gambaran remaja dalam puisi IBS, merupakan kejadian-kejadian yang biasa terjadi di dunia remaja. Para ahli psikologi menyebutnya dengan proses pencarian identitas diri.

Pencarian identitas diri (awam : pencarian jati diri) merupakan sebuah proses eksperimen yang terjadi di masa remaja dengan cara mencoba berbagai peran untuk menemukan formula standar tingkah laku. Sebenarnya proses ini merupakan lanjutan dari proses identifikasi terhadap nilai-nilai tertentu (khususnya nilai-nilai keluarga) semenjak masa anak-anak. Menginjak masa remaja, individu akan menemukan nilai-nilai lain dari lingkungan yang lebih luas, khususnya dari kelompok teman sebaya dan tokoh-tokoh idola. Individu pada masa remaja akan mencoba menyintesiskan dua nilai tersebut. Jika nilai-nilai dalam keluarga memiliki kemiripan dengan nilai kelompok sebaya, maka proses pencarian identitas berlangsung relatif lebih mudah.

Namun seringkali terjadi perbedaan nilai antara keluarga dengan teman sebaya, atau tokoh-tokoh idola lainnya. Akibatnya, kemungkinan besar remaja akan mengalami kebingungan dalam menentukan nilai standar tingkah lakunya atau biasanya disebut dengan kebingungan peran. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya remaja mencoba tingkah laku (peran) secara berganti-ganti. Nantinya tingkah laku (peran) yang memiliki nilai penerimaan yang lebih tinggi dan menguntungkanlah yang dijadikan standar tingkah lakunya. Dan ini kemudian yang menjadi identitasnya.

Seperti yang digambarkan di atas, remaja juga memiliki energi yang besar yang membutuhkan penyaluran. Berbagai cara dilakukan untuk menyalurkan energi tersebut. Seperti yang ada dalam ilustrasi di atas, ada beberapa cara yang ditempuh remaja dalam menyalurkan energi mereka. Ada yang menyalurkan lewat tawuran, kegiatan kepenulisan, dan mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk kegiatan contohnya (pada kesempatan ini aku tidak akan menghakimi apakan penyaluran itu bernilai positif atau negatif). Disadari atau tidak, kegiatan penyaluran energi ini juga merupakan suatu proses yang sangat berpengaruh dalam pencarian identitas diri.

***

Proses pencarian identitas diri seorang remaja (dalam hal ini IBS), itulah kesan pertama yang aku temukan setelah melakukan pembacaan cepat puisi-puisi (hanya 1 jam) yang terdapat dalam antologi ini. Sebagai remaja, IBS (19 tahun), penulis buku ini, tentu memiliki energi yang besar, sebagaimana halnya remaja-remaja lain. Energi itu dia salurkan melalui kegiatan kepenulisan, khususnya puisi (aku tidak tahu apakah IBS juga menulis genre lain).

Melalui puisi-puisinya, terlihat IBS mencoba menyintesiskan antara berbagai standar tingkah laku yang pernah ditemuinya. Ia mencoba berbagai “peran” dalam puisi-puisinya. Misalnya dalam IBS mencoba “peran” sangat religius (Puisi Sebuah Hikayat, misalnya). Di sisi lain, ia terlihat memainkan “peran” yang mengenyampingkan nilai religius (Puisi About Two Guys misalnya). Ada “keraguan” dalam menentukan pilihan standar nilai yang nantinya menjadi identitas dirinya. Begitu juga dengan puisi-puisi lain. (Coba bandingkan puisi K+R+I+T+I+K dan Hakikat Puisi, puisi Zelo dengan rasa kesepian seorang demonstran). Inilah salah satu ciri khas remaja. Mereka dapat berubah secara dinamis dalam “peran” yang mereka mainkan untuk menemukan identitas dirinya.

Menjadi menarik kemudian adalah IBS memainkan “peran” yang berbeda itu dalam puisi-puisinya karena kebanyakan remaja memainkan “peran” itu dalam kehidupan nyatanya. Apakah dalam masa pencarian jati dirinya, IBS juga memainkan “peran” yang berbeda dalam kehidupan nyatanya? Tentu IBS sendiri yang bisa menjawabnya.

***

Seperti yang aku tulis di atas, bahwa aku melakukan pembacaan yang cepat (dalam pengertian harfiah) terhadap naskah-naskah puisi IBS. Aku mendapatkan naskah puisi-puisi IBS secara lengkap kemarin sore (9 Juli 2007). Aku mulai membaca jam 02.00 dini hari tadi. Dari pembacaan yang cepat itulah, banyak sekali hal-hal menarik yang dapat kita kupas lagi secara mendalam, khususnya dari aspek-aspek psikologis yang melahirkan puisi-puisi tersebut.

Menjelang jam 03.00 dini hari tadi, aku sampai pada pembacaan sebuah puisi yang berjudul Hakikat Puisi. Setelah membaca puisi ini tiba-tiba aku ingat salah seorang temanku, seorang pelukis yang tinggal di Jogjakarta. Aku sering menikmati lukisan-lukisannya. Sebagian besar lukisannya abstrak dan absurd. Ada lukisan yang berupa tumpukan-tumpukan warna yang saling tumpang-tindih di sudut kiri kanvas. Tidak ada bentuk yang jelas. Dan banyak lagi lukisan lain yang tidak memiliki bentuk yang jelas.

Siang itu dengan nada bercanda, aku iseng bertanya padanya, “Apakah kamu pantas disebut pelukis, sementara lukisanmu abstrak seperti ini. Tidak ada bentuknya, kayaknya semua orang bisa melukis seperti itu”.

“Tentu saja pantas,” jawabnya tersenyum. “Walaupun lukisanku saat ini abstrak, tapi ada kemampuan dasar yang harus dikuasai pelukis. Misalnya kemampuan melukis anatomi tubuh, atau pengetahuan dasar tentang warna” katanya memberi penjelasan. “Emangnya kamu, mengaku sastrawan, tapi tidak tahu aturan berbahasa,” ledeknya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Aku hanya tersenyum miris sambil mencoba untuk introspeksi diri. (©sangdenai)

)* Pengantar diskusi Launching Kumpulan Puisi ayah, aku benci padamu (Iman Budi Santosa), 10 Juli 2007, di Kafe Potluck, Bandung

~ by sangdenai on November 22, 2007.

6 Responses to “Puisi dan Pencarian Identitas Diri Remaja)*”

  1. hmm.. bagaimana jika puisi, hanyalah puisi. menulis hanyalah menulis.. karna, kupikir2, aku termasuk narsis dalam menulis.. ^_^.. kutulis apa yg ingin kutulis…
    tanpa norma, tanpa aturan.. bagaimana menurut mu denai ?

    • seseorang pastinya mempunyai berbagai cara dalam dirinya untuk menuangkan atau mencurahkan segala apa yang ada dalam fikiranya. dengan itu biasanya seseorang mampu meluapkan segala emosi dan uneg-uneg dalam dirinya.

  2. ya menulis sebuah puisi dapat dikatakan salah satu proses pencarian identitas diri,apakah selalu begitu..??
    setelah saya coba menulis beberapa puisi saya belum menemukannya ,,bagaimana mnut anda…?

  3. salam kenal dari aku yah!!!! bagus juga blognya????

  4. wah bagus banget blognya??? temenan yuk!!

  5. bagusss…
    saya juga banyak karya puisi,saya ingin mempulikasikannya agar menjadi rupiah,kalau anda punya atau tau line nya,tolong saya banu atau kasih tau saya caranya ya….

Leave a comment