Ibu, Tolong Bicaralah!

2003

Aku menatap seraut wajah itu. Sekilas terlihat guratan kedukaan membayang di sana. Sekilas memang. Namun aku dapat menangkap betapa beratnya beban hidup yang ditanggungnya. Seperti gunung es di tengah lautan, hanya sebagian kecil yang terlihat dari permukaan. Jika mau menelusuri lebih jauh, akan kita temukan gunung es yang lebih besar di bawah permukaan air. Bahkan mungkin lebih besar dari yang mampu kita bayangkan.

Aku menatap seraut wajah itu, wajah yang sangat kukenal. Setiap lekukannya terekam dengan baik dalam memoriku. Walaupun kerutan-kerutan ketuaan yang kian hari kian bertambah, baik jumlah maupun ketegasan garis-garisnya. Dan rambut yang mulai memutih dan menipis, memang tidak seperti dulu lagi. Tubuh ringkihnya terbaring di ranjang besi beralaskan kasur kapuk dan seprai putih. Sesekali terdengar tarikan nafas yang mengeluarkan suara yang menghipnotisku. Ya, semua telah berubah, semua yang ada padanya mulai luruh seiring dengan pergantian waktu. Tapi semua itu tidak mampu menepis sosoknya dari ingatanku.

Pulanglah! Hampir setahun ibumu terbaring di rumah sakit, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Mungkin hanya engkau yang dapat menghibur hatinya, begitu bunyi telegram kuterima seminggu lalu.

Harus ku akui, aku tidak dapat seperti I Gusti Ngurah Daku[1]), yang mampu mengabaikan telegram yang mengabarkan tentang sakit ibunya. Bahkan ketika berita kematian ibunya menjadi berita pembebasan baginya. Ya, aku tidak mampu seperti itu. Sosok ibu sangat mewarnai duniaku. Mewarnai hidupku. Dan hanya ibuku satu-satunya sosok manusia yang sangat kuhormati, kusayangi dan kucintai, walau pun dalam beberapa hal aku sering berbeda pendapat dan prinsip dengannya.

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
…………….[2])

Ibu, apakah engkau ingat ketika bait-bait selalu menjadi dongeng pengantar tidurku di masa lalu, pada masa anak-anak. Suaramu yang lugas dan jelas, intonasinya – yang menurutku – sangat menghibur dan melahirkan ketenangan bagiku. Mengantarkan aku menuju alam mimpi indah.

Lebih sepuluh tahun aku tidak lagi mendengar merdu suaramu, Ibu, suaramu ketika mengalunkan bait-bait itu. Semenjak kepergianku ke negeri seberang. Kepergian yang menurutku bukanlah seperti yang diharapkan bait-bait itu, Ibu. Pergi dengan tiang layar yang patah, layar yang koyak, dan badai yang mengombang-ambing permukaan laut bebas. Kepergian yang lebih karena adanya pertentangan antara aku dengan ibu, terutama dengan lelaki itu. Lelaki yang 23 pasang kromosomnya membentuk diriku. Lelaki yang di dalam tubuhku mengalir darahnya. Dan lelaki itu sekarang berdiri di sampingku.

Di usiaku yang belum genap 17, keputusan berat itu aku harus ambil dan jalani. Keputusan untuk meninggalkan semuanya. Meninggalkan masa remajaku di usia yang masih sangat muda. Mengambil alih semua tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Hari ini aku telah berada di sampingmu lagi, Ibu. Walaupun itu hanya untuk sementara waktu karena perjalananku ke laut lepas belum tuntas. Mungkin hanya dua atau tiga hari, mungkin dua atau tiga minggu. Tergantung pada kondisi kesehatanmu. Dan pada saat ini, hanya satu pintaku, Ibu, tolong bicaralah. Bicara apa saja yang ibu mau, aku akan dengar, karena aku dan semua orang merindukan suaramu.

***

Akhirnya kau pulang juga, anakku.

Seperti ketika pergi dulu, engkau kembali bukan seperti yang selalu kita bayangkan melalui puisi itu. Senjamu belum tiba, elang laut pun masih terbang mengarungi alam luas. Perahumu kembali bukan karena arah angin menuju benua, dan nakhodamu hanyalah terpaksa untuk mengarahkan dirimu kembali ke sini. Engkau kembali bukan untuk bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari, seperti yang selalu kita gambarkan dengan penghayatan dan bahasa tubuh ketika membacakan puisi itu. Engkau kembali ke tempat yang menggoreskan segurat luka yang menganaksungaikan darah dan bernanah di hatimu.

Sepuluh tahun lebih bukanlah rentang waktu yang singkat. Namun aku yakin itu belum cukup bagimu untuk mengarungi dunia luas. Pergi ke alam bebas. Walaupun aku menyadari bahwa ketika engkau pergi dulu, aku merupakan salah satu manusia yang menggoreskan luka itu. Cukup satu goresan, akan tetapi aku yakin, goresanku itulah yang paling dalam dan membekas. Aku menyadari, sangat sulit bagimu mengeringkan luka itu. Mungkin hanya aku yang dapat membantumu untuk mengobatinya. Dan kini saatnya anakku.

Hampir tiga tahun aku membisu. Diam seribu bahasa. Semua orang panik. Mereka menganggap perubahan pada diriku sangat mendadak. Padahal kalau mereka mau menengok ke belakang, sebenarnya telah terjadi suatu proses yang sangat panjang dan berliku. Proses yang menyadarkan aku akan ada sesuatu yang seharusnya tidak terjadi atau seharusnya bisa aku cegah untuk terjadi. Puncaknya adalah kepergianmu itu, anakku. Kepergianmu dengan membawa luka yang ditorehkan oleh lelaki itu, lelaki yang secara normatif seharusnya menjadi orang yang sangat kau hormati. Lelaki yang telah hampir tiga tahun tidak pernah lagi kusentuh dan tidak berani, aku tegaskan ia tidak berani lagi menyentuhku, walaupun, sekali lagi, secara normatif tidak ada larangan untuk itu.

Setahun belakang ini tubuhku yang semakin ringkih dan terbaring dalam penyesalan yang panjang. Terbaring dalam sebuah penantian akan dirimu.

Hari ini telingaku menangkap degup jantungmu yang sangat aku kenal. Suara langkahmu yang khas menjadi sebuah energi bagiku untuk bangkit. Tarikan nafasmu, suaramu – walaupun suaramu terdengar agak berat dan berbeda dari dulu – menyentuh gendang telingaku dengan lembut. Melahirkan semangat dan harapan baru bagi hidupku. Genggaman tanganmu menguatkan hatiku untuk mengambil sebuah keputusan yang sangat penting anakku.

***

1992

Lebaran Haji baru saja usai beberapa hari yang lalu. Bulan Haji merupakan salah satu waktu yang sangat mengembirakan bagi masyarakat di kampung halamanku. Sama ketika Ramadhan dan Idul Fitri, masyarakat melakukan berbagai kegiatan kerohanian pada bulan Dzulhijah pada penanggalan Hijriah ini. Dan salah satu kegiatan itu adalah melaksanakan akad nikah dan pesta pernikahannya.

Menurut kepercayaan masyarakat, bulan haji merupakan bulan baik untuk melaksanakan ibadah yang berlabel pernikahan. Suatu kaum akan melaksanakan akad dan pesta pernikahan bagi anak kemenakannya. Tak lama berselang, kaum yang lain juga melaksanakan hal yang sama. Bahkan dalam hari yang bersamaan aku pernah menyaksikan ibuku menghadiri tiga acara pernikahan. Tidak mengherankan kalau timbul pameo yang menyatakan bahwa bulan Haji adalah “musim kawin”, karena realitanya memang seperti itu.

Malam itu, kupandangi langit yang cerah bertabur bintang. Bulan yang masih bulat penuh menyinari kegelapan malam. Suara jangkrik sesekali ditingkahi kepakan sayap burung malam yang keluar sarang mencari makan. Gemercik air yang jatuh dari pancuran yang terletak di bagian belakang Rumah Gadang seakan mengalunkan nada yang sangat harmonis di telingaku. Ditingkahi desir angin melewati sela-sela dinding kayu Rumah Gadang mulai merenggang dimakan usia. Mengeluarkan suara desiran yang menghipnotis dan menghadirkan sensasi dingin alam pegunungan pada indera perabaanku. Membawa aroma khas alam pedesaan. Dari kejauhan terdengar sayup sampai kemeriahan sebuah pesta pernikahan, tepatnya pesta malam bainai[3]).

Cerahnya malam itu ternyata tidak mampu mencerahkan hatiku. Meriahnya suara pesta malam bainai dari kejauhan juga tidak mampu menggerakkan hatiku. Justru kegundahan yang tidak tertahankan.

“Sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu itu?” sebuah suara mengejutkanku. Kupalingkan wajah ke arah suara itu. Walau membutuhkan energi yang sangat besar, kupaksakan untuk tersenyum, berkamuflase, dan aku yakin senyuman itu sangat memuakan.

“Sudah, Bu,” jawabku lirih.

Perempuan itu menghampiri dan mengusap lembut kepalaku. Sedikit kedamaian kurasakan. Namun hanya sedikit, jauh berbeda daripada yang kurasakan beberapa waktu yang lalu.

“Ibu menghargai keputusanmu, tapi…”

“Sudahlah, Bu,” potongku.

“Kamu juga harus mempertimbangkan saran ibu…”

“Tidak perlu dipertimbangkan lagi, Bu,” kembali aku memotong pembicaraan ibu.

“Denai,” nada suara ibu sedikit meninggi. “Dengar dulu….”

“Tidak perlu lagi, Bu,” kataku sambil berjalan meninggalkan ibu.

“Denai,” kata ibu sambil berusaha menahan langkahku. “Ibu selalu mengajarkanmu untuk mendengar dan menghargai pendapat orang lain, walaupun mungkin tidak sesuai dengan pendapatmu”.

“Maaf, Bu, untuk masalah ini aku tidak bisa. Tekadku sudah bulat untuk pergi meninggalkan semua. Malam ini sayup-sayup terdengar kemeriahan malam bainai bagi perempuan itu. Besok lelaki itu akan dijemput dan akan menikah lagi”.

“Denai….”

“Aku tidak sanggup, Bu…”

“Kamu seorang laki-laki, Denai. Ibu saja sanggup menghadapinya”.

Selalu begitu. Sekarang begitu, kemaren juga begitu. Ibu selalu mencoba memberi pengertian padaku tentang pernikahan lelaki itu. Aku betul-betul sudah malas mendengarnya. Andai saja yang di hadapanku itu bukanlah ibu,…

“Alasannya untuk menikahi perempuan itu jelas dan masuk akal. Ia ingin memperoleh anak perempuan. Kamu kan tahu arti kehadiran seorang anak perempuan dalam tatanan masyarakat kita. Sementara itu…”

“Maaf, Bu,” potongku lagi, “Aku terpaksa bicara apa adanya. Blak-blakan. Di usia yang masih terlalu muda ini, alasan itu sangat naif bagiku, menginginkan kehadiran anak perempuan,…”

“Baiklah,” giliran ibu yang memotong penjelasanku. “Lantas mengapa kamu ambil keputusan untuk pergi?”

Aku diam. Sungguh sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata yang tepat.

“Beri alasanmu,” desak ibu.

“Aku tidak sanggup, Bu”.

“Tidak sanggup apa?”

“Tidak sanggup untuk menyaksikan pada hari-hari mendatang, lelaki itu datang ke sini hanya untuk mengawinimu, Ibu. Ingat, Bu, hanya mengawini. Dan satu yang paling melukaiku, ibu membohongi hati nurani ibu sendiri dengan mengizinkan dan merelakan itu semua hanya karena alasan normatif, padahal aku dapat merasakan betapa nyerinya menohok ulu hatimu”.

***

2003

Hampir seminggu aku berada tanah kelahiranku. Kampung halamanku terletak sekitar tujuh kilometer ke arah timur dari pusat Kota Tiga Kota[4]), yang berada di dataran tinggi. Berhawa sejuk dengan latar belakang tiga gunung yang memagari nagari[5]). Membiru. Menikmati gemercik air yang mengalir di sela bebatuan di sungai yang berliku. Angin bertiup di antara pepohonan. Beberapa lembar daun melayang gugur ke bumi. Hamparan sawah yang menguning berjenjang mengikuti tekstur tanah yang melandai. Senyuman kepuasan mengambang di bibir petani atas hasil kerjanya. Lenguhan kerbau yang memamah biak di bawah rindang pohon beringin yang tumbuh di pinggir sungai. Dan di sore hari itik beriringan pulang ke kandang. Malam yang pekat diisi dengan suara jangkrik dan kepakan sayap burung malam yang mencari makan. Dan di pagi hari kokok ayam dan kicau burung yang selalu mengusik tidurku.

Enam hari sudah aku setia menunggu di sini. Bau obat-obatan, amoniak, dan karbol menjadi akrab dengan indera pembauanku. Rintihan kesakitan sudah menjadi makanan rutin setiap hari. Jerit histeris, doa-doa, dan alunan ayat-ayat suci mengiringi seseorang menuju kesunyian abadi sudah akrab di telingaku.

Sayangnya, perkembangan kesehatan ibu tidak ada perubahan yang signifikan ke arah kesembuhan. Masih sama ketika pertama kali aku datang. Bahkan kadangkala justru menuju titik lebih mengkhawatirkan. Pada saat-saat seperti itu kugenggam erat tangannya yang semakin keriput itu.

Ibu, tolong bicaralah!
Hanya satu yang sangat kurindu saat ini, Ibu. Hanya satu, suaramu.

Namun asa itu semakin hari semakin menipis dan akan segera sampai pada titik terendah. Bahkan aku sempat berfikir penantianku sia-sia. Kepulanganku pun sia-sia. Tidak mampu mengubah keadaan orang yang paling kucintai.

Sedikit harapan tiba-tiba muncul. Malam itu aku dikejutkan oleh sebuah usapan hangat di kepalaku. Usapan yang sangat khas dan telah lama tidak aku rasakan. Mengacak-acak rambutku yang selalu dipotong pendek. Aku menggeliat dan hampir saja jatuh dari bangku itu. Memang semenjak kedatangan beberapa hari yang lalu, aku paling sering menemani ibu. Duduk di bangku yang ada di samping ranjang itu. Kadang kepalaku tertelungkup di sebelah tangan kanan ibu yang selalu kugenggam erat. Dan usapan itu membuat aku kaget dan langsung bangun.

Kutatap wajah ibu. Terlihat tetesan air merambat dari sudut matanya yang terpejam. Kudengar tarikan nafasnya yang sangat dalam.

Harapan itu datang. Kuusap air hangat yang mulai merambat mengikuti alur kerutan-kerutan itu. Hangat kurasakan.

“Anakku,” sebuah suara yang sangat kukenal dan kurindukan mengiang di telingaku.

“Ya, ibu,” sahutku kaget sekaligus gembira sambil mengenggam erat jemarinya yang kurus itu.

“Naif, terlalu naif,” kata ibu mengingatkanku pada kata-kataku yang dulu, “Perempuan di satu sisi sangat diharapkan dalam budaya kita. Sayangnya di sisi lain, untuk melahirkan perempuan yang diagung-agungkan itu kadang harus ada perempuan lain yang berkorbankan seperti ibumu ini. Ironis”.

Aku tersentak mendengar kata-kata ibu itu. Persis seperti yang aku pikirkan semenjak kepergianku dulu.

“Mulai saat ini, lelaki itu tidak akan pernah pulang lagi untuk mengawini aku karena detik ini aku akan menceraikannya”.

Kata-kata ibu yang sangat tajam ini memaksa memoriku untuk memutar ulang peristiwa yang kualami sebelum kepergianku. Semua tergambar dengan jelas. Semua kata-kata yang terucap dari bibirku saat ini mendapat tanggapan dari ibu.

“Denai anakku, kembalilah ke alam laut luas,” lanjut ibu, “Seperti puisi yang selalu aku bacakan untukmu. Ibu restui langkahmu”.

“Ibu….”

“Dan aku akan kembali ke balik malam, anakku….”

Suara itu semakin melemah. Melemah dan hanya meninggalkan gema panjang di hatiku.

“Ibu….” teriakku sambil mempererat genggaman jemari itu.

Sebuah tepukan di pundakku tiba-tiba membuyarkan suara ibu. Aku kaget dan mengusap mataku. Kurasakan hangat matahari menerpa kulitku. Ketika kesadaran pulih, aku mendesah lirih. Ah, ibu, apakah mimpiku itu kenyataan….

***

Aku menatap tubuh yang terbujur kaku itu. Seulas senyum menghiasi bibirnya. Kedamaian tergambar pada senyuman itu. Seakan telah melepaskan semua beban berat yang selama ini menghimpitnya.

Ibu, kembalilah ke balik malam dengan tenang, desahku lirih. Mataku sembab dan berkaca-kaca hendak mau pecah. Akan tetapi kutahan karena aku tahu ibu tidak akan suka melihat aku menangis. Kukecup keningnya untuk penghabisan sambil kubisikkan sebuah janji di telinganya yang telah tertutup oleh kapas.

Aku akan kembali ke dunia luas, ibu, kembali ke hidup bebas. Suatu saat nanti aku akan kembali ke balik malam dan kita akan bertemu lagi. Pada saatnya nanti kita akan bercerita tentang cinta dan hidupku di pagi hari. (©inal)

Keterangan :
· Edisi cetak Cerpen ini dimuat di Majalah NooR Edisi Maret 2005
· Cerpen ini juga dihimpun pada buku Kumcer Perempuan Bermata Lembut (Jakarta : FBA Press, 2005)


[1]) Tokoh utama dalam film Telegram yang diperankan oleh Sujiwo Tejo

[2]) Bait puisi Surat dari Ibu karya Asrul Sani. Pada cerpen ini puisi Surat dari Ibu merupakan salah satu inspirator terbesar sehingga pada beberapa bagian berikutnya banyak dikutip bait-bait puisi tersebut.

[3]) Malam Bainai (Minangkabau) : Salah satu rangkaian pesta pernikahan di mana dalam pesta ini kuku perempuan diinai, diberi pemerah kuku dengan daun inai (daun pacar).

[4]) Kota Tiga Kota, judul Cerpen karya Gus tf Sakai yang dimuat pada Kompas Minggu 7 September 2003

[5]) nagari (Minangkabau) : bentuk pemerintahan terkecil di Minangkabau

~ by sangdenai on December 13, 2007.

One Response to “Ibu, Tolong Bicaralah!”

  1. Aneh dan lucu …. saya juga dipanggil Denai oleh seseorang. Awalnya panggilan itu Den Ayu, lalu penulisannya disambung menjadi Denayu, berubah lagi menjadi Denai ….
    Kalau nggak salah Denai itu bahasa Minang. Apa sih artinya?
    Cerpennya Bagus, Denai. Saya juga suka menulis cerpen, tapi belum sebagus Denai. Beberapa saya upload di blog saya, http://tutinonka.wordpress.com.

    Ohya, saya pernah ke Bukittinggi. Indah sekali kota itu …

Leave a comment