Datuak Malenggang di Langik*

“ASSALAMUALAIKUM….”

“Waalaikumsalam…. O, Buyuang Denai. Masuklah, Yuang. Duduk… duduklah, Yuang!”

“Baiklah, Mak Kayo. Terima kasih.”

“Minum apa malam ini, Buyuang? Kopi, teh, kopi susu, atau teh-telur”

“Teh-telur sajalah, Mak Kayo.”

“Ambo buatkan. Bagaimana kabar kuliahnya, Yuang? Libur?”

“Indak, Mak.”

“Kalau tidak libur, kok bisa pulang kampung?”

“Ambo tinggal menyusun skripsi. Jadi tidak perlu tiap hari datang ke Limau Manih. Mumpung di kampung kita akan ada acara baralek gadang, ambo sempatkan untuk pulang. Seumur hidup ambo, baru kali ini baralek gadang batagak penghulu dilaksanakan di kampung kita.”

“Memang betul, sudah lama tidak ada acara ini…”

“Assalamualaikum….”

“Waalaikumsalam….”

“Waalaikumsalam…. O, Mak Basa. Masuklah, Mak. Duduk… duduklah, Mak!”

“Baiklah, Kayo. Terima kasih.”

“Minum apa Mak Basa? Kopi, teh, kopi susu, atau teh-telur”

“Kopsteng[2], Kayo.”

“Jadi, Mak.”

“Bagaimana kabarnya, Pak Basa?”

“Baik, Yuang…, Yuaaang…?”

“Denai nama ambo Pak.”

“Denai, ya Denai. Lupa ambo. Anaaak…?”

“Ayah ambo Sutan Malenggang di Langik.”

“Iya, iya… Baru ingat ambo. Anak Sutan Malenggang di Langik, berarti jalan anak juga bagi ambo.”

“Iya, Pak.”

“Ini kopinya, Mak Basa.”

“Terima kasih, Kayo. Minum Yuang.”

“Iya, Pak.”

“Fuuuh… fuuuh… Srupuuutt… ah…. Panas.”

“Ini teh-telurnya, Yuang.”

“Terima kasih, Mak Kayo. Sama-sama minum awak Pak.”

“Ya, Yuang.”

 

***


“OH, ya, Mak Basa. Sebentar lagi akan ada baralek gadang di kampung kita. Bagaimana menurut pendapat Mak Basa?”

“O, iya. Beberapa hari yang lalu ambo di-kisa[3]-kan ke rumah Si Pangka. Merundingkan mengenai acara malewakan-gala Datuak Malenggang di Langik. O, iya, bukankah urang-rumah-bako Buyuang Denai ini yang menjadi Si Pangka? Bukankah begitu Denai?”

“Iya, Pak Basa.”

“Mak Basa kenal dengan calon Datuak Malenggang di Langik yang akan diangkat?”

“Sekedar tahu orangnya. Kalau tidak salah, saudara sepupu ayahnya Buyuang Denai ini. Namanya Fikkie. Ambo lupa gelarnya. Setahu ambo Sutan Malenggang di Langik, ayah Denai, dan Fikkie ber-dunsanak ibu.”

“Ambo hanya mengenal namanya saja, Mak Basa. Belum pernah bertemu langsung. Paling-paling ambo hanya melihat beliau di teve.”

“Sama, Mak Kayo. Ambo juga belum pernah bertemu langsung. Pak Basa pernah bertemu beliau?”

“Pernah, sekali. Selebihnya, ya, sama, ambo hanya melihat di televisi. Rokoknya sebatang Kayo.”

“Ya, Mak.”

“Ambo juga sebatang, Mak Kayo.”

“…….”

“Hsssttt… hufff.”

“Hsssttt… hufff.”

“Berapa kira-kira umur Pak Fikkie itu, Mak Basa?”

“Kalau tidak salah, beliau sekitar satu atau dua tahun di atas ambo. Berarti sekitar 54 atau 55 tahun.”

“Berarti sama dengan umur ayah ambo ya Pak?”

“Ya, mereka seumur.”

“Tetapi ayah tidak begitu akrab dengan beliau, Pak?”

“Fikkie lahir di perantauan. Ayahnya orang seberang. Sedangkan ibu Fikkie adik dari nenek angku, Yuang. Seingat ambo, baru sekali dia pulang ke kampung. Sekitar dua puluh lima tahun lalu. Saat itu ambo bertemu dengannya.”

“Dua puluh lima tahun yang lalu? Belum lahir angku Yuang.”

“Benar Mak Kayo. Umur ambo baru dua puluh satu tahun.”

“Memang sudah lama. Sejak itu ambo tidak pernah bertemu lagi. Tahu-tahu dia sudah menjadi orang besar. Wajahnya tiba-tiba sering muncul di televisi. Menjadi politikus dia sekarang.”


***

 

“SRUPUUUTT… Huuufff….”

“Srupuuutt… Huuufff….”

“Sebenarnya ambo kurang setuju dengan pengangkatan Pak Fikkie menjadi Datuak, Pak Basa, Mak Kayo.”

“Mengapa kurang setuju, Yuang? Apa sebabnya?”

“Kurang setuju? Ambo justru sangat setuju. Sudah saatnya batang terendam itu dibangkit, baju yang terlipat dikembangkan lagi. Bukan begitu Mak Basa?”

“Iya.”

“Bukan membangkit batang terendam yang menjadi masalahnya Mak Kayo.”

“Lantas?”

“Ambo kurang setuju dengan figur yang akan menyandang gelar Datuak Malenggang di Langik.”

“Kurang setuju dengan figur Fikkie?”

“Ehmm…”

“Srupuuut…. Ya, menurut ambo Pak Fikkie bukan sosok yang tepat.”

“Menurut ambo sangat tepat, Yuang. Bukankah begitu Kayo?”

“Betul, Mak Basa. Pak Fikkie itu orang besar.”

“Ya, menurut ambo juga begitu. Beliau merupakan orang yang cocok. Orang yang pas. Beliau memenuhi segala rukun-syarat untuk menjadi datuak. Ibunya jelas-jelas orang awak, walaupun bapaknya orang seberang. Kita ini menarik garis keturunan dari ibu. Ini jelas memenuhi syarat. Kita harus bangga, ada orang kampung kita yang menjadi sosok yang dikenal orang se-Indonesia. Sekarang beliau diangkat menjadi datuak.”

“Justru beliau belum memenuhi rukun-syarat itu, Pak Basa.”

“Hsssttt… hufff. Apa yang belum dipenuhinya? Dia telah mengisi cupak, menuang limbago. Seekor kerbau siap direbahkan, disembelih untuk menjamu orang sekampung. Tujuh hari tujuh malam lamanya. Semua persyaratan sudah dipenuhi.”

“Untuk menyandang gelar datuak di Minangkabau ini tidak cukup hanya itu, Pak.”

“Ah, kalian yang muda-muda ini tahu apa tentang adat? Pandainya cuma mendebat saja. Bukankah begitu tabiat anak-anak muda sekarang, Kayo?”

“………”

“Lihat! Kayo menganggukan kepalanya tanda setuju. Memang begitu adat anak muda sekarang. Pandainya cuma mengkritik.”

“Bukan begitu Pak Basa. Dengar dulu penjelasan ambo!”

“Baiklah, ambo dengar penjelasan angku, Buyuang Denai.”

“Di Minangkabau ini, datuak bukanlah gelar kehormatan….”

“Bukan gelar kehormatan bagaimana maksudnya? Sangat terhormat seseorang ketika ia diangkat menjadi datuak.”

“Terhormat, memang betul. Akan tetapi tujuan utama pengangkatan datuak bukanlah sebuah kehormatan. Lebih menitikberatkan pada tugas. Sangat berat tugas yang diemban seorang datuak.”

“Terus….”

“Tanggung jawab seorang datuak terutama pada kaum kerabatnya. Untuk menjalankan tugasnya itu, selayaknya ia mengetahui kondisi kaum kerabatnya. Apa yang diketahui oleh Pak Fikkie tentang kaumnya selama ini? Beliau dibesarkan dalam tradisi lain. Lebih setengah abad umurnya, baru sekali menginjakkan kaki di kampung halamannya ini. Beliau tidak mengenal kaum keluarganya secara dekat. Bahkan selama ini beliau selalu mengaku dirinya sebagai orang seberang. Beliau lebih mengakui garis keturunan bapaknya. Berbeda dengan kita yang mengakui garis keturunan ibu.”

“Terus….”

“Tiba-tiba saja ada rencana baralek gadang untuk mengangkatnya menjadi datuak. Ambo jadi curiga pasti ada sesuatu di balik ini. Jangan-jangan ini hanya sekedar untuk gengsi-gengsian. Hanya untuk memperlihatkan bahwa kita beradat.”

“…….”

“Lebih pada hanya sebatas baralek. Setelah itu apa? Beliau balik ke rantau, meninggalkan kaumnya. Benar-benar melenggang di langit dia, sedangkan kaum kerabat yang berada di bumi terlupakan. Benar-benar klop dengan gelarnya, Datuak Malenggang di Langik. Dan ambo yakin, Pak Fikkie lebih tertarik mengurus politik, ketimbang mengurus kaumnya. Atau mungkin pengangkatannya ini mengandung muatan politik tertentu?”

“Soal politik ambo tidak mengerti. Jangan bawa-bawa soal politik. Bukankah begitu Kayo?”

“Iya, Mak.”

“Baiklah, kita berbaik sangka. Mudah-mudahan tidak ada muatan politik tertentu.”

“Apalagi yang kau khawatirkan Yuang?”

“Seperti yang ambo katakan tadi, datuak di Minangkabau lebih merupakan tugas daripada gelar kehormatan. Ia hanya ditinggikan satu ranting, didahulukan satu langkah dalam memimpin kaumnya, sehingga kaumnya lebih mudah untuk mengontrol jika ia salah langkah. Datuak merupakan suluh bendrang dalam nagari, terutama bagi kaumnya. Bagaimana mungkin calon Datuak Malenggang di Langik akan menjadi suluh bendrang kalau menerangkan diri sendiri belum mampu?”

“Angku seperti menuduh dia tidak mampu menjadi suluh bagi dirinya sendiri?”

“Kenyataannya begitu. Apa yang telah diperbuat buat anak-kemenakannya? Apa yang telah diperbuat untuk buah paruiknya? Tidak ada, atau secara nyata belum terlihat. Belum berbuat apa-apa untuk kaumnya, apakah itu yang disebut telah mampu menjadi suluh bendrang dalam nagari?”

“…………”

“Seperti yang ambo katakan tadi, selama ini dia lebih mengakui garis keturunan bapaknya. Ini hanya euforia saja….”

“Terserahlah, Yuang. Tidak mengerti ambo yang angku maksudkan. Kita cukupkan dulu, kalau kita perdebatkan lebih lanjut, tidak akan ada titik temu. Tidak bertemu ujung pangkalnya, bak mengukur kain sarung. Ambo harus jalan dulu.”

“Kemana Mak Basa?”

“Ke baruh sebentar. Memasukan air ke sawah ambo malam ini, biar besok sudah menggenang dan siap untuk dibajak. Berapa semua Kayo?”

“Apo sajo Mak Basa?”

“Kopsteng samo goreng pisangnya satu. Rokoknya sebatang. Angku apa saja Yuang?”

“Tidak usah Pak Basa.”

“Semuanya saja Kayo. Sama yang pesan Buyuang Denai.”

“Kopsteng, goreng pisang satu, teh-telur, sama rokok dua batang. Jadi empat ribu lima ratus Mak.”

“Ini uangnya. Terima kasih Kayo. Dulu ambo Yuang. Kapan-kapan kita sambung lagi.”

“Iya Pak. Terima kasih banyak Pak Basa.”(©inal)


Biaro, Juli 2004

Wacana pembukaan untuk menggali kembali khasanah budaya Minangkabau.

 

 

Keterangan :

Versi cetak cerpen ini dimuat di Padang Ekspres Minggu, 31 Juli 2005

 

  


*nama yang tercantum pada judul ini hanya imajinatif dan penulis terinspirasi oleh nama tokoh Sutan Malenggang di Langik dalam film Samson Betawi.

[2] kopsteng : akronim dari kopi setengah

[3] kisa (Minangkabau) : arti harfiahnya dipindahkan. Dalam konteks ini maksudnya diundang.

~ by sangdenai on January 9, 2008.

2 Responses to “Datuak Malenggang di Langik*”

  1. Ambo akan mengomentari dari 2 sisi:
    – soal alur, manuruik ambo alurnyo terlalu kering,akan lebih baik kalo situasi dipaparkan dulu (deskripsi latar).Soalnyo ambo mangiro diskusi tu dirumah indak dilapau…soalnyo ado kato masuak lah yuang…dilapau satau ambo ndak pernah ado kato itu. situasi di lapaunyo indak lo muncul –> damino atau koa…dan cimeeh urang di sakaliliang..situasi ko kan acok kalua di lapau..ha.ha…
    -soal subtansi sangaik bagus…itu lah realita saat iko–>mungkin bisa jadi kritik kambali kanagari yang hanyo formalistik lambang presitsius,tapi tidak meyentuh substansi kambali k nagari….

  2. kemarin aku berkisah berat dengan ponggahnya Datuak Mantiko Alam… he he he
    Sip!!!

Leave a comment