Kampungku

•May 11, 2010 • 1 Comment

Cerita Pendek Sangdenai

Jika kau punya waktu yang cukup, maka datanglah berlibur ke kampungku.

Kampungku terletak di sebuah dataran tinggi. Dalam buku pelajaran IPS Sekolah Dasar, dataran tinggi ini sering disebut. Terletak pada jajaran perbukitan yang berbaris dari utara ke selatan, dengan ketinggian rata-rata di atas 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karena itu, kau akan merasakan sensasi dingin luar biasa, mencucuk-cucuk tulang seperti ribuan jarum mikro membenam dalam daging, menyengat sampai ke sumsum. Rimbunnya pepohonan, angin yang bertiup dari puncak gunung yang mengelilingi, udara masih terlindung dari polusi, menambah dingin temperatur. Lebih dingin dari Bandung, bahkan lebih dingin daripada Batu, Malang, atau Cipanas, Puncak.

Bandung dan Puncak terkenal dengan perkebunan tehnya. Batu, Malang, terkenal dengan apelnya. Begitu juga dengan dataran tinggiku, terkenal dengan padinya. Padi dari daerahku dikenal dengan nama Padi Randah Lamo. Diberi nama Padi Randah Lamo karena batang-batang padi tersebut rendah (dalam bahasa kampungku randah), kira-kira setinggi lutut orang dewasa. Masa panennya yang lama (dalam bahasa kampungku lamo), memakan waktu enam bulan. Walaupun begitu, menurut cerita yang kudengar dari ibuku yang seorang guru Sekolah Dasar, beras dari daerahku merupakan beras kualitas nomor satu di seantero negara ini. Bulir-bulirnya padat dan berisi seperti perut yang bunting 9 bulan. Butirannya yang putih bersih, melebihi kualitas Beras Cianjur yang terkenal itu. Atawa Beras Solok yang dilagudendangkan oleh Elly Kasim. Konon kabarnya, ketika kekuasaan di negara ini terpusat di kawasan Cendana, beras dari kampungku menjadi primadona di dapur istana. Aku tidak tahu tentang kebenarannya. Akan tetapi di kalangan orang-orang kampungku, hal ini sudah menjadi rahasia umum. Positifnya, petani di kampungku semakin bersemangat untuk mengolah lahannya.

Di antara bebukitan yang tinggi terdapat sebuah kota kecil. Berbagai nama dan gelar dilekatkan orang pada kota kecilku ini. Ada yang menyebutnya kota wisata, ada yang menyebutnya kota benteng. Akan tetapi aku lebih suka menyebutnya Kota Tiga Kota seperti yang pernah ditulis oleh temanku yang sastrawan itu, Gus tf Sakai (pasti kau mengenal karyanya). Walaupun dalam karyanya Gus tf Sakai tidak menyebut di mana Kota Tiga Kota yang dia maksud, tapi tidak salah kalau aku memakai istilah yang dia sebut sebagai Kota Tiga Kota untuk kota kecilku ini. Memang benar kota ini selalu dilingkupi oleh angka tiga. Ada tiga gunung yang dikenal memagari kota ini. Ada tiga sungai yang mengaliri kota ini. Ada tiga kecamatan di dalamnya. Sistem pemerintahan tradisional di kota ini juga terdiri dari tiga unsur. Masyarakat kota kecilku mengumpamakan sistem pemerintahannya itu seperti tungku yang terdiri tiga batu atau landasan yang berdiri seimbang. Atawa seperti sebuah tali besar yang terjalin dari tiga tali kecil yang berkelindan. Konon sistem pemerintahan ini menyerupai sistem pemerintahan polis di masa kejayaan Yunani beberapa abad yang lalu.

Kota Tiga Kota (sementara kita sepakat untuk menyebutnya seperti itu) sangat terkenal ke seantero nusantara. Keterkenalannya berbanding terbalik dengan luas wilayahnya. Jika kita menggunakan sepeda dayung untuk mengelilingi kota ini, tidak akan menghabiskan waktu setengah hari. Hanya saja tanjakan dan turunan cukup menguras tenaga. Maklumlah, tekstur permukaan kota ini seperti muka yang penuh bisul besar. Tidak datar dan rata, tetapi berbukit-bukit dengan beda ketinggiannya mencapai seratus meteran.

Ibu kota negara ini terkenal dengan sebuah menara dengan obor-api-emas di puncaknya. Kota Tiga Kota ini juga terkenal dengan sebuah menara. Bedanya, di puncak menara tidak ada obor-api-emas, tetapi pada empat sisinya yang mengarah ke empat penjuru mata angin terdapat jam yang besar-besar. Menara ini peninggalan orang-orang kulit putih ketika menguasai negeri ini. Menara jam inilah yang menjadi patokan waktu bagi masyarakat kotaku.

Ada satu keunikan pada keempat jam itu. Sekilas sepertinya biasa-biasa saja. Tapi coba cermati lebih jauh, kau akan mendapati keanehan pada angka-angkanya. Tertulis dalam angka Romawi. Angka satu sampai tiga tidak ada masalah, akan tetapi angka empat yang seharusnya ditulis IV, justru ditulis IIII. Aku pernah protes sama ibuku waktu kecil karena menganggap salah angka tersebut. Ibuku hanya tersenyum dan dengan sedikit kebingungan mencoba menanggapi kekritisanku dengan sebuah lelucon.

“Mungkin dulu orang berkulit putih itu teledor dan menyadari kesalahannya justru setelah jam itu terpasang.”

Kembali ke kampungku. Apabila ditarik garis lurus dari puncak menara jam yang besar itu, maka panjang garis itu kira-kira tujuh kilometer.

Baiklah, aku tunjukkan kepadamu cara untuk mencapai kampungku.

Jika kau telah sampai di Kota Tiga Kota, carilah terminal angkutan pedesaan yang semua penduduk tahu. Dari terminal itu, naiklah angkutan pedesaan yang mengarah ke timur kota. Pilihlah duduk di jok depan, dan kau akan disuguhi petualangan mata untuk menikmati pemandangan alam pedesaan.

Angkutan itu keluar dari terminal lewat gerbang timur. Berbelok ke kanan sekitar 150 meter dari terminal kau akan disuguhi sebuah turunan yang curam. Biasanya angkutan desa pada saat memasuki turunan yang curam ini sudah pada porseneling tiga. Sopir akan menggeber mobilnya kencang-kencang ketika turunan ini. Sampai di dasar turunan akan melewati sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang jernih. Ini merupakan salah satu sungai yang mengaliri Kota Tiga Kota.

Selepas jembatan langsung disambut dengan tanjakan yang tak kalah curamnya. Itu sebabnya para sopir memacu kecepatan saat menurunan tadi. Mereka ingin mengambil awalan untuk menanjak. Ketika tiba di pertengahan tanjakan, mobil yang melaju dengan porseneling tiga kebanyakan akan kehilangan tenaga. Sehingga dengan kesigapannya sang sopir akan menginjak pedal kopling, pindah porseneling dua, lepas kopling, dan langsung injak pedal gas lebih dalam. Raungan mesin mobil yang kepayahan jadi penghibur telingamu.

Puncak dari tanjakan itu kembali sang sopir menginjak pedal kopling, menggeser tuas porseneling ke posisi tiga lagi. Kecepatan akan konstan, dan beberapa saat kemudian akan masuk porseneling empat.

Pada saat inilah kau akan disuguhkan pemandangan yang berbeda dari yang biasa kita saksikan sehari-hari di ibukota ini. Kau akan menyaksikan hamparan sawah di kiri kanan jalan. Di sebelah kiri ada sebuah bandar yang air jernihnya mengaliri sawah-sawah itu. Ketika kau tolehkan wajahmu ke kanan, hamparan sawah. Datar sejauh mata memandang. Akhirnya matamu akan tertumbuk pada latar belakang, sebuah gunung yang menghijau-biru. Gunung yang kalau kau perhatikan puncaknya akan terlihat batu-batu cadas kelabu. Gunung yang sesekali masih suka batuk dan memuntahkan isi perutnya. Gunung yang dipercaya bahwa pada zaman dulunya, pada zaman antah berantah, hanya sebesar telur itik dan merupakan tempat berasal orang-orang di kampungku seperti yang mereka gambarkan dalam pantun ini.

Di mano disalai palito
Di baliak telong nan batali
Di mano turun niniak kito
Di ateh gunuang barapi

Mungkin kau tidak mengerti, tapi aku akan coba menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kira-kira berbunyi seperti ini.

Di mana dinyalakan pelita
Di balik lampu yang bertali
Di mana turun moyang kita
Di atas gunung berapi

Nilai kebenaran dari apa yang terkandung dalam pantun itu masih dipertanyaan. Namun terlepas dari hal itu, telah menjadi buah kepercayaan turun temurun. Sudah menjadi ingatan kolektif masyarakat kampungku.

Sementara itu turunkan kaca jendela mobil, hawa sejuk pegunungan akan menyerobot masuk. Wangi tanah dan bunga padi memberi sensasi baru bagi hidung kita yang terbiasa dengan bau asap knalpot metropolitan.

Hanya sekitar lima menit kau akan menyaksikan pemandangan ini. Setelah itu kau akan sampai di perbatasan Kota Tiga Kota dengan kabupaten. Kau akan memasuki sebuah kecamatan yang konon kabarnya merupakan nagari yang sangat tua. Nagari adalah bentuk pemerintahan terkecil, yang kalau kita cari padanannya seperti desa di Jawa. Namun ada kekhasan nagari, yaitu kemandiriannya dalam mengurus diri dan masyarakatnya sendiri.

Menurut cerita turun-temurun, pada zaman dulu kala, pada zaman antah-berantah, dari nagari pertama di daerah yang sangat menghargai perempuan ini, di balik gunung yang kau saksikan tadi, berangkatlah empat rombongan untuk mencari daerah baru. Keempat rombongan itu mendaki gunung yang terlihat di sebelah kanan itu. Ketika sampai di puncak gunung, mereka meninjau daerah sekeliling gunung. Akhirnya mereka sepakat untuk turun pada sisi lain gunung karena melihat pantulan cahaya matahari dari sisi tersebut. Seperti cahaya yang memantul dari cermin, seolah-olah memanggil-manggil mereka untuk menempati daerah tersebut.

Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan, akhirnya mereka sampai di suatu daerah. Mereka menemukan sebuah kolam yang airnya jernih dan mengkilat-kilat tertimpa sinar matahari. Kilatan-kilatan itu seperti pantulan sebuah cermin dan mereka meyakini bahwa kolam itulah yang mereka lihat dari puncak gunung tadi. Akhirnya kolam itu diberi nama sesuai dengan sifatnya tadi seperti cermin dan kolam itu masih ada sampai sekarang.

Kemudian masing-masing rombongan membuka teruka baru. Membangunnya menjadi empat nagari. Inilah cikal-bakal atau nagari awal, yang pada zaman pemerintahan modern keempat nagari itu disatukan menjadi satu kecamatan dan diberi nama sesuai dengan sejarahnya, yaitu empat nagari sekali angkat. Itulah cerita yang konon terdapat dalam tambo. Aku tidak tahu pasti kebenarannya karena tambo itu sendiri lebih banyak berasal dari cerita mulut ke mulut, orang sekarang menyebutnya dengan sastra lisan.

Baiklah, kita lanjutkan lagi. Beberapa saat setelah memasuki daerah kabupaten, kau akan menemui kampung pertama. Kita mulai menemukan rumah-rumah penduduk. Kau akan menyaksikan rumah dengan atap berbentuk tanduk kerbau, di antara beberapa rumah yang permanen. Setelah melewati beberapa rumah itu, kita akan memasuki pusat kampung tersebut.

Oh ya, sedikit aku akan cerita juga tentang kampung ini. Nama kampung ini unik juga. Konon, di kampung ini terdapat sebuah surau atau tempat ibadah yang dikelilingi oleh kolam yang airnya sangatlah jernih. Saking jernihnya air kolam itu, seolah-olah menjadi cermin, dan memantulkan bayangan surau yang berada di tengah-tengahnya setiap saat, sehingga seolah-olah kita melihat dua surau yang kembar, sama dan sebangun. Surau dan bayangan yang kembar inilah yang diambil menjadi nama kampung itu.

Setelah melewati kampung dengan surau dan bayangannya yang kembar itu, kembali kita melewati persawahan untuk kemudian kita memasuki kampung yang baru. Konon di kampung ini banyak sawah yang berpasir, sehingga kampung tersebut diberi nama sesuai dengan cirinya. Namun, sekarang kampung itu justru lebih terkenal sebagai penghasil pakaian jadi. Jika kau jalan ke Tanah Abang, pusat grosir kain di ibukota, carilah merk-merk pakaian yang berbau-bau Jepang, seperti nakamura, ikonogo, atau densiko. Itu merupakan produksi kampung ini. Orang-orang sering tertipu dengan merk-merk itu dan menganggap pakaian itu produk Jepang. Padahal merk itu berasal dari bahasa kampungku yang dimodifikasi. Nakamura berasal dari kata nan ka murah atau kalau di-Indonesia-kan, “yang murah”. Ikonogo berarti “nah ini dia”. Sedangkan densiko berasal dari kata den yang artinya aku, dan siko yang berarti di sini. Jadi densiko artinya, “aku di sini”. Ya, sebuah kiat yang menurutku cukup cerdik menyiasati pasar.

Setelah sampai di kampung itu, di depan kau akan menemukan pertigaan. Angkutan pedesaan akan berbelok ke kiri dan sekitar 500 meter kemudian kita akan memasuki kampung baru. Konon kabarnya dahulu di kampung ini terdapat sebuah ampang yang sangat besar. Ampang adalah sebuah kolam tempat memelihara ikan. Di nagari ini terdapat sebuah ampang yang sangat besar, oleh karenanya kampung ini diberi nama sesuai dengan ciri khasnya itu.

Setelah itu kita akan menemukan perempatan yang cukup ramai. Mobil yang membawamu akan berbelok ke kanan. Dan kampungku semakin dekat. Sekitar tiga-empat kilometer lagi dari perempatan itu kita akan memasuki kampungku.

Tidak sampai 10 menit, kau mulai memasuki kampungku. Ditandai dengan sebuah jembatan yang melintang di atas batang-air kecil yang berair jernih. Di batang-air ini, masyarakat menambang bahan galian terutama pasir yang benar-benar hitam. Pasir dari sungai ini sangat bagus kualitasnya dan merupakan salah satu penghasilan bagi masyarakat di kampungku.

Jalan raya yang kita lewati itu membelah kampungku utara dan selatan dengan belahan yang lebih kurang sama. Di kiri-kanan jalan terhampar sawah yang luas. Pada saat mendekati musim panen, sekeliling kita akan menguning laksana emas yang terhampar pada sebuah kanvas alam yang luas. Bulir-bulir padi yang bernas menggantung di tangkainya yang semakin hari semakin merunduk karena tidak mampu menahan beban yang semakin berat. Di sebelah kanan, dua gunung raksasa, tegak dengan pongahnya menjaga nagari. Seperti sepasang raksasa menghijau-biru saling bergandengan mesra. Lerengnya yang bersilangan seperti dua tangan yang saling menggenggam.

Setelah disuguhi pemandangan sawah ini, kembali kita akan menemui sebuah jembatan yang mengangkangi sebuah batang-air yang lebih besar dari yang kita temui pertama. Memang sebuah anugerah bagi kampungku, dialiri oleh tiga batang-air selain dua yang telah kita temui, di ujung timur kampungku sebagai pembatas dengan nagari sebelah juga terdapat sebuah batang-air yang lebih besar, deras, dan berkelok-kelok, di mana pada setiap kelokannya, airnya laksana menumbuk-numbuk tebing yang menjadi dinding batang air. Jadi kalau kita dari barat atau timur, tetap akan menemui batang-air ketika memasuki kampungku.

Setelah jembatan ini, jalan sedikit menikung dan kita akan sampai di pusat keramaian kampungku. Sebuah simpang empat yang menjadi perlintasan utama bagi penduduk nagari sebelah. Di perempatan ini semua kegiatan di nagariku terpusat. Terdapat sebuah Musalla sebagai tempat ibadah. Di seberang diagonalnya terdapat sebuah pekan (pasar) yang ramai setiap hari Rabu dan Sabtu. Sekitar seratus meteran di belakang pasar itu terdapat kantor Polisi dan asrama Polisi, di mana bangunannya merupakan peninggalan zaman kolonial. Sementara itu di seberang jalan pasar terdapat kantor Koramil dan di sebelahnya terdapat sebuah Puskesmas. Di sebelah Puskesmas itu ada sebuah Sekolah Dasar yang oleh karena prestasi siswanya, SD tersebut mendapat gelar SD Teladan. Seratus meter sebelah barat pasar terdapat kantor Kecamatan, sedangkan seratus meter sebelah utara sebuah komplek SMA berdiri dengan megah.

Di seberang SD Teladan itu kau akan temukan sebuah parak bambu, dan rumah ibuku berada persis di sebelah parak bambu tersebut. Mampirlah ke rumah ibuku. Sebuah rumah dengan atap seperti tanduk kerbau, dinding kayu, dan bentuknya seperti sebuah kapal besar.

Kau boleh menumpang beberapa hari di rumah ibuku. Kau tinggal bilang sama ibuku bahwa kau ingin menemukan suasana lain di kampungku, suasana yang berbeda dengan yang sehari-hari kita hadapi di kota besar ini. Ibuku pasti menyambut kau dengan tangan terbuka dan senyumannya yang khas. Kau akan nikmati suara ibuku, yang menurutku sangat merdu ketika membacakan bait-bait puisi sebagai pengantar tidurku. Beliau tentu akan menunjukan tempat-tempat yang bisa kau kunjungi sebagai tempat pelepas lelah, pelepas sesak, pelepas sumpek.

Setelah sejenak melepas lelah, mulailah berkeliling kampungku. Kau akan menemukan alam yang masih hijau. Pepohonan yang besar, guguran dedaunannya terbawa angin yang bertiup sepoi. Rumah-rumah penduduk yang teratur dengan susunan pola-pola tertentu seperti yang kita baca dalam buku-buku antropologi. Sawah-sawah yang membentang luas. Menikmati gemercik air yang mengalir di sela bebatuan di sungai yang berliku. Hamparan sawah, berjenjang mengikuti tektur tanah yang melandai. Senyuman kepuasan mengambang di bibir petani atas hasil kerjanya. Lenguhan kerbau yang memamah biak di bawah rindang pohon beringin yang tumbuh di pinggir sungai. Dan di sore hari itik beriringan pulang ke kandang. Malam yang pekat diisi dengan suara jangkrik dan kepakan sayap burung malam yang mencari makan. Dan rasakanlah sensasi dingin yang tak terkirakan pada malam hari. Aku yakin, kau akan meringkuk di bawah selimut tebal yang disediakan oleh ibuku. Dan di pagi hari kokok ayam dan kicau burung akan selalu mengusik tidurmu.

Pagi-pagi, kau akan menikmati sensasi lain, mandi di pancuran. Mungkin kau akan mengatakan dingin ketika air akan menjamah kulitmu. Keliru, kau keliru jika beranggapan seperti itu. Walaupun malam dingin, pagi pun dingin, tapi air yang mengalir di pancuran bambu itu hangat. Ini disebabkan air itu berasal dari mata air tanah. Hangat akan membaluri tubuhmu, membuat kau akan malas untuk buru-buru menyelesaikan ritual mandimu.

Dan ketika kau menyusuri jalan-jalan kampung, kau harus menyiapkan bibirmu untuk sebuah senyuman. Yah, mungkin hanya seulas senyum, tapi itu besar artinya bagi mereka. Mereka akan membalasnya dengan tulus. Orang di kampungku selalu mengamalkan sebuah pantun yang mereka warisi turun temurun sebagai sastra lisan. Kamu mau mendengarnya? Inilah bunyi pantun itu.

Nan kuriak kundi
Nan merah sago
Nan baiak budi
Nan indah baso

Ehm, tentu kau bingung dengan pantun itu. Baiklah, aku coba mencarikan padanannya dalam Bahasa Indonesia.

Yang belang kundi
yang merah saga
yang baik budi
yang indah bahasa.

Ya, yang indah adalah bahasa. Senyuman merupakan sebuah bahasa persahabatan atau lebih tepatnya bahasa persaudaraan bagi orang kampungku.

Itulah gambaran kampung kelahiranku. Semenjak bayi sampai usia belasan aku tumbuh dan berkembang di sana. Dengan adat-istiadat penduduknya yang khas, lebih mengakui garis keturunan ibu. Lagi-lagi temanku yang sastrawan itu, Gus tf Sakai, dalam salah satu novelnya mengatakan bahwa Sang Tokoh peletak sendi-sendi adat itu adalah seseorang yang sangat mencintai ibunya. Saking ia mencintai ibunya hingga ia tidak menikah selama hidupnya. Untuk penghormatan pada ibu khususnya, dan kaum perempuan pada umumnya, maka disusunnyalah adat di kampungku dengan keberpihakan yang sangat besar bagi kaum perempuan. Ya, semacam kompensasi dari kecintaannya kepada ibunya. Dan hal itu tanpa disadari, terwarisi olehku. Seperti yang kau tahu, kecintaanku pada ibuku melebihi apa pun di dunia ini. Seperti yang kau tahu, sampai usiaku yang ke-empat-puluh-dua tahun ini, belum satu orang perempuan pun yang mampu menggantikan posisi ibu dalam hatiku.

***

Sayang kawan, itu kisah sekitar dua puluh tahun yang lalu, tepatnya ketika aku akan berangkat ke metropolitan kita ini.

Lebaran yang lalu aku pulang ke kampungku.

Kerinduan yang menggumpal siap kuletuskan dengan sebuah kepulangan. Laksana sebuah bisul yang berawal dari abses kecil, lama-kelamaan menggumpal, bertambah besar, dan siap meletus, mengeluarkan semua yang dikandungnya, begitu juga dengan kerinduanku pada kampung halaman. Bayangkan! Lebih dua puluh tahun. Bukan waktu yang sedikit. Hampir setengah dari umurku.

Kulukis dalam imajiku suasana yang berbeda akan kutemukan di kampung ketika lepas landas di Cengkareng. Ah, bayangan-bayangan indah aku bangun di atas pesawat yang membawaku pulang. Berbagai kenangan masa kecil kucoba rangkai lagi. Dan aku berhasil membangun kenangan itu. Aku masih ingat, bagaimana saat aku menginjak umur tujuh tahun, malam-malam kulalui di surau. Tradisi saat itu adalah, semua anak laki-laki yang sudah berumur tujuh tahun, tidak boleh menginap lagi di rumah.

Namun kawan, lacurnya, apa boleh dikata. Bayangan yang telah berhasil kubangun berantakan. Memasuki turunan dan tanjakan yang aku ceritakan di awal, aku merasakan aroma metropolitan telah mencemari kampungku. Sungai yang mengalir di bawah jembatan itu tidak jernih lagi. Sampah berserakan membuat aliran air tersendat-sendat, tak ubahnya seperti Ciliwung atau Cikapundung di Bandung sana. Melewati tanjakan itu tidak ada lagi sawah-sawah yang menguning kulihat. Kini telah berubah berisi bangunan. Mulai dari ruko dan kompleks perumahan. Kampung dengan suraunya seolah-olah kembar, kampung yang sawahnya berpasir, kampung dengan ampangan yang besar, semua tinggal nama. Kampung-kampung itu seperti kehilangan ciri khas dan roh. Dan memasuki kampungku, badanku semakin lemas. Tidak ada lagi sawah-sawah terhampar sepanjang jalan. Semua berubah menjadi ruko dan perumahan.

Dan yang membuatku bertambah shock, ketika aku menelusuri kembali tempat-tempat kenangan masa kecilku. Senyuman yang mengambang di bibirku tidak lagi mendapat balasan dari mereka. Yang kutemui justru hanya orang-orang dengan muka berkerut, dahi berkerut, berjalan dengan kecepatan yang tinggi, seolah-olah begitu tergesa-gesa. Tidak ada tegur sapa, tidak ada senyuman. Dan aku merasakan aroma ibukota telah pindah ke kampungku.

Dan harapanku untuk menikmati suasana lain pudarlah sudah. Seperti cerita yang turun temurun, yang mengatakan bahwa kampungku ini diberi nama Bih Arok atau dalam Bahasa Indonesia berarti habis harapan. Nama ini konon kabarnya berasal ketika pada zaman dulu kala seorang anak mudanya habis harapan untuk meminang seorang gadis cantik pujaan hatinya. Seperti anak muda itu, saat ini aku pun bih arok untuk menikmati lagi cantiknya kampung pujaan hatiku.***

pub-4385546875208337

Membangun (kembali) Identitas Masyarakat Minangkabau

•June 7, 2008 • 1 Comment

Judul Buku:Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926 – 1998

Penulis:Audrey Kahin

Penerjemah:Azmi, Drs., MA., Ph.D dan Zulfahmi, Drs., Dipl I.I.

Pengantar:Taufik Abdullah

Penerbit:Yayasan Obor Indonesia (YOI) Jakarta

Halaman:xxxv + 473 halaman

ISBN:979-461-519-6


Taufik Abdullah, seorang sejarawan senior LIPI yang berasal dari Minangkabau, pernah mengatakan bahwa jika anda menemukan orang Indonesia dengan nama-nama yang aneh, maka kemungkinan besar orang itu adalah Orang Padang. Pernyataan ini disampaikan pada sebuah seminar Pentas Budaya Minang 2000, 21-22 Oktober 2000, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pernyataan ini menyentak peserta seminar yang sebagian besar berasal dari Minangkabau. Apalagi kemudian Taufik menyatakan bahwa hal itu terjadi karena orang Minangkabau kehilangan identitas dirinya. Orang Minangkabau masih sibuk berkutat dengan pencarian “siapa saya?”.

Penulis yang kebetulan ikut dalam seminar tergerak untuk membuktikan kata-kata Taufik Abdullah tersebut dan langsung melihat daftar nama-nama tamu yang hadir. Dan memang mengejutkan, banyak sekali nama-nama yang “aneh” atau tidak lazim untuk nama orang Indonesia dan khususnya pemeluk agama Islam. Ada nama Cornelius, Maretthe, Trimadonna, dan penulis sempat tersenyum begitu ingat salah satu nama teman dekat yang bernama Sergey Matturov. Padahal kedua orang tuanya asli Bukittinggi. Dia lahir dan menjalani masa kanak-kanak sampai tamat SMU di Bukittinggi.

Sinyalemen kehilangan identitas diri, menurut Taufik Abdullah lagi, terjadi karena orang Minang mengalami kesalahan strategi dalam membangun dirinya sehingga melahirkan trauma yang sangat mendalam. Kekalahan total yang dialami pada “peristiwa (pemberontakan?) PRRI” tahun 1958-1960 merupakan kesalahan strategi yang paling besar. Dampak yang terburuk dari peristiwa 1958-1960 ini adalah orang Minang kehilangan kekritisan terhadap semua hal, termasuk kekritisan kepada diri sendiri. Hal ini digambarkan dengan baik oleh Taufik Abdulah dalam Kata Pengantar buku setebal lebih dari 500 halaman yang ditulis oleh Audrey Kahin ini.

***

Audrey Kahin, pakar Sejarah Asia Tenggara dari Cornell University, melakukan penelitian yang mendalam tentang pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat menuju integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang lebih dari tujuh dasawarsa (1926 – 1998) coba diungkap dan ditelaah lagi secara mendalam. Didukung oleh data primer dan sekunder yang baik, khususnya akses Audrey untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku dan dokumentasi mengenai Sumatera Barat yang justru lebih banyak tersebar di luar negeri, penelitian ini mampu menggali hal-hal yang selama ini tidak atau belum terungkap dalam penelitian sebelumnya.

Hasil penelitian tersebutlah yang kemudian dituangkan Audrey ke dalam buku yang terdiri dari empat bagian utama ditambah satu bagian prolog dan satu bagian epilog. Setiap bagian menggambarkan suatu periode yang menggambarkan pergulatan yang dialami masyarakat Sumatera Barat.

Pada bagian prolog dipaparkan ketika tatanan politik Minangkabau mulai disusun dua tokoh legendaris, Datuak Katumanggungan (DK) dan Datuak Parpatiah nan Sabatang (DPS). DK lebih berkiblat ke sistem pemerintahan Majapahit (Jawa) dalam menyusun tatanan politik di Minangkabau. Sebaliknya, DPS yang tak lain adalah adik DK (mereka satu ibu, tetapi berbeda ayah), lebih menekankan partisipasi masyarakat untuk membangun sebuah tatanan politik. Menurut DK, kemajuan suatu negara tergantung pada kuatnya pusat pemerintahan atau diumpamakan seperti menitis dari langit. Pemimpin sebagai pusat merupakan sumber inspirasi, gagasan, dan keputusan, dan ini sangat dekat dengan tatanan politik Majapahit. Sebaliknya DPS lebih menekankan bahwa kemajuan suatu negara justru tergantung pada partisipasi rakyatnya atau diumpamakan seperti membersit dari bumi. Rakyat merupakan sumber gagasan, sumber inisiatif karena mereka lebih tahu keadaan di lapangan. Pertentangan ini kemudian diselesaikan dengan sebuah perjanjian Batu Batikam yang berisi kesepakatan bahwa dua sistem tersebut harus bisa hidup berdampingan di Alam Minangkabau.

Periode selanjutnya ketika Islam masuk ke Minangkabau. Sistem yang telah baku, terutama masalah garis keturunan matrilineal dan sistem warisan yang telah mengakar pada masyarakat Minangkabau harus berhadapan dengan hukum Islam yang lebih menekankan segi patrilineal. Apalagi ketika paham Wahabi yang dibawa oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tatanan masyarakat Minangkabau kembali mendapat tekanan dari gerakan radikal Islam ini. Akhirnya melalui perjanjian Bukit Marapalam, disepakatilah sebuah adagium adat yang sampai saat ini masih berlaku, adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dimana tatanan ada disempurnakan oleh Islam, yang artinya dua sistem yang terlihat bertentangan ini (khususnya masalah garis keturunan dan warisan) dapat hidup dan berjalan beriringan di Alam Minangkabau.

Memasuki zaman pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda, sebuah kejadian yang besar adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926-1927 di Silungkang. Pemberontakan Silungkang ini merupakan manifestasi dari Keputusan Prambanan yang justru ditentang oleh Tan Malaka. Sebuah pertanyaan cukup menggelitik sebenarnya tentang pemberontakan ini, mengapa pemberontakan PKI 1926-1927 terjadi hanya di Sumatera Barat dan Jawa Barat? Padahal keputusan itu diambil di Jawa Tengah yang nota bene pada tahun-tahun itu tidak ada gerakan radikal seperti di Silungkang. Apakah ini merupakan sebuah kesalahan strategi anggota PKI yang berada di Sumatera Barat?

***

Berbicara kesalahan strategi, sangat menarik untuk menguliti bagian ketiga dari buku ini. Pada bagian ini Audrey mencoba memaparkan lebih lanjut temuannya tentang kejadian pada penghujung tahun 50-an dan awal 60-an. Pada masa ini terjadi serangkaian peristiwa besar dalam tatanan politik Indonesia yang berujung pada peristiwa (pemberontakan?) PRRI di Sumatera Barat.

Jika kita membaca buku-buku sejarah yang beredar di bangku sekolah atau yang (boleh) beredar di masyarakat, peristiwa (pemberontakan?) PRRI selalu disandingkan dengan Permesta di Sulawesi. Biasanya bahasannya pun sangat sedikit. Bahkan dalam beberapa buku sejarah Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas hanya dibahas dalam dua atau tiga paragraf saja.

Berawal dari kekecewaan terhadap pemerintahan yang sangat sentralistik, berlanjut pada kekecewaan terhadap pembubaran Devisi Banteng yang akhirnya melahirkan Dewan Banteng. Dewan Banteng ini kemudian menjadi cikal bakal Dewan Perjuangan. Dimotori oleh Letkol Ahmad Husein, meletuslah peristiwa (pemberontakan?) PRRI yang mengeluarkan tuntutan yang termaktub dalam Piagam Perjuangan Menyelamatkan Bangsa.

Pemerintah pusat tidak menanggapi tuntutan tersebut sehingga lima hari setelah ditandatanganinya piagam ini (15 Februari 1958) Dewan Perjuangan membentuk kabinet baru yang diberi nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sumatera Barat sepenuhnya mendukung gerakan PRRI ini.

Perang saudara akhirnya tidak dapat dihindarkan. Padang dan Bukittingi menjadi sasaran pengeboman dari tentara pusat (TNI). Perang yang berlangsung selama kurun waktu 1958 – 1961 sangat dahsyat dan memakan korban dalam jumlah yang sangat besar.

Kekalahan akhirnya dialami oleh PRRI. Dampak kekalahan ini justru terbesar dialami oleh masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang digambarkan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengatar buku ini, ketika ia pulang ke Padang tahun 1961, ia merasakan perubahan yang sangat besar terjadi pada masyarakat Sumatera Barat. Tidak ditemukannya lagi kekhasan orang Minangkabau.

Kekalahan PRRI, dilanjutkan dengan berbagai peristiwa selanjutnya dengan puncak tragedi 1965 yang kemudian melahirkan era baru dalam sistem pemerintahan Indonesia yang lebih sentralistik di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, membuat masyarakat Minangkabau tambah tenggelam dan kehilangan identitasnya. Sistem pemerintahan Minangkabau yang terkenal dengan keegaliterannya benar-benar tenggelam dalam bayang-bayang sistem pemerintahan sentralistik dan hierarkis ala Jawa.

***

Sebagai penutup, penulis merasa bahwa buku Audrey Kahin ini menjadi sangat penting artinya dalam membangun kembali identitas masyarakat Minangkabau yang egaliter. Membaca sejarah masa lampau, mengambil pelajaran berharga di dalamnya, untuk merenda masa depan yang lebih baik. Bukankah ada pepatah Minangkabau yang dengan bagus menggambarkan ini. Mambangkik batang tarandam, manaruko maso yang akan datang. (©sangdenai)

Navis, Alam Takambang Jadi Cerpen*

•May 31, 2008 • 3 Comments

Judul Buku : Antologi Lengkap Cerpen AA Navis

Penulis : Ali Akbar Navis

Editor : Ismet Fanani

Penerbit : Penerbit Buku Kompas

Halaman : 775 + ix

Harga : Rp 85.000,00

Sebuah karya sastra tidak lahir dari ruang kosong (Adilla, 2003 : 5). Karya sastra lahir dari proses yang berkelanjutan yang dialami oleh penulisnya. Pengamatan yang mendalam, kepekaan pada lingkungan, perenungan, dan pergesekan dengan lingkungan sosial merupakan ruang inspirasi bagi penulis untuk melahirkan ceritanya.

Masyarakat Minangkabau, tempat Navis melahirkan cerpen-cerpennya, dikenal sebuah filosofi alam takambang jadi guru. Pada dasarnya filosofi ini mengajarkan bahwa apa pun yang ada di dunia dan semesta raya (masyarakat Minangkabau menyebutnya “alam”), melalui proses pengolahan yang pemikiran yang dialektis, dapat menjadi “semacam pembimbing” bagi kehidupan ini. Hujan, angin, kabut, bintang, matahari, bulan, manusia, tumbuhan, binatang, bumi, dan segala ciptaan tuhan, merupakan guru bagi manusia yang peka, mau belajar, mau mengamati, dan berpikir. Semuanya dapat menjadi inspirasi bagi manusia.

Navis yang dibesarkan dalam lingkungan masyarakat komunal Minangkabau tentu sangat memahami filosofi ini dan memanifestasikannya dalam karya-karyanya. Seperti yang diutarakan oleh Ivan Adilla dalam bukunya yang berjudul “A. A. Navis, Karya dan Dunianya” (Grasindo, 2003), cerpen-cerpen Navis lahir dari kejadian-kejadian yang terjadi di sekelilingnya. Kebanyakan model tokoh-tokoh dan peristiwa yang ditulisnya berdasarkan pada model dan peristiwa yang ada di dunia nyata. Pengalaman pribadi, pengalaman teman-temannya, pengamatan terhadap lingkungan sosial, keadaan politik, mitos, dan tentu saja adat Minangkabau merupakan sumber inspirasi yang penting dalam karya Navis.

***

Membincangkan cerpen-cerpen Navis, tidaklah lengkap jika tidak membicarakan cerpen Robohnya Surau Kami (RSK). Cerpen yang fenomenal dan sekaligus menuai kontroversi ini terpilih menjadi cerpen terbaik dan memenangkah hadiah sastra majalah Kisah tahun 1955. Cerpen yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jepang, dan Jerman ini oleh pengamat sastra dipandang sebagai salah satu cerpen bernuansa Islam terbaik dengan warna Indonesia (Adilla, 2003 : 24).

RSK berawal dari gambaran tentang kerobohan (secara fisik) sebuah surau. Robohnya surau tersebut dipercepat dengan ketidakpedulian masyarakat di sekitar surau tersebut. Anak-anak menggunakan surau tersebut sebagai tempat bermain. Perempuan-perempuan mencopoti dinding surau untuk dijadikan kayu bakar.

Diceritakan bahwa sepuluh tahun yang lalu surau itu dijaga seorang garin yang sekaligus merangkap sebagai imam di surau tersebut. Di samping itu, garin yang biasa dipanggil Kakek, mempunyai sebuah keahlian mengasah pisau. Dikisahkanlah kehidupan keseharian Kakek dengan segala tingkah laku ketuaanya.

Suatu hari, tokoh Aku menemukan Kakek dalam keadaan murung. Setelah didesak, akhirnya Kakek menceritakan sebab kemurungannya. Semua berawal dari cerita Ajo Sidi, yang lebih dikenal sebagai si pembual. Mulailah Kakek menceritakan kembali kisah yang diceritakan Ajo Sidi.

Kelak setelah kiamat, Tuhan akan menghisab semua amalan dan dosa manusia. Diceritakan ada seorang Indonesia yang bernama Saleh, bergelar haji, yang sangat yakin dirinya akan masuk surga. Ketika giliran Saleh ditanya oleh Tuhan, dengan wajah terrsenyum bangga ia menjawab bahwa di dunia ia selalu beribadah menyembah, mengingat, dan mengagungkan Tuhan. Setelah dihisab, Tuhan memutuskan bahwa Saleh harus masuk neraka. Tentu saja Saleh heran. Lebih heran lagi ketika di neraka ditemuinya orang-orang yang di dunia sangat rajin beribadah. Bahkan ada yang bergelar Syekh. Singkat cerita, akhirnya Saleh mengumpulkan teman-temannya tersebut untuk memprotes keputusan Tuhan.

Tuhan menerima Saleh dan teman-temannya yang protes. Dari dialog yang terjadi, ternyata kesalahan Saleh dan teman-temannya adalah bahwa mereka semua pemalas. Mereka lebih suka beribadah karena tidak mengeluarkan peluh. Sementara itu kekayaan alam mereka tidak pernah diolah, bahkan dikeruk oleh bangsa lain. Mereka tidak peduli dengan anak cucu mereka. Mereka beribadat lebih karena ingin menghindari neraka tinimbang melaksanakan ajaran agama. Akhirnya mereka dimasukan kembali ke neraka.

Kembali ke kehidupan nyata, akhirnya Kakek ditemukan meninggal dunia dengan leher tergorok. Aku mencurigai Ajo Sidi dan segera mencarinya. Akan tetapi Ajo Sidi sudah berangkat kerja. Dia hanya meninggalkan pesan pada istrinya untuk membelikan kain kafan untuk Kakek.

Demikian sinopsis singkat RSK. Tidak seperti cerpen-cerpen bernuansa Islam yang banyak dipublikasikan belakangan ini, yang lebih mengutamakan penggunaan simbol-simbol ke-Islam-an seperti pengucapan salam, memberi penekanan pada penggunaan pakaian muslim, mengutip ayat-ayat suci, RSK justru berbicara dalam tataran lain. RSK tidak “dihiasi” dengan simbol-simbol keagamaan yang kental. Akan tetapi RSK lebih menekankan pada pengamalan ajaran agama itu sendiri. RSK menggugah kita bahwa agama bukanlah sekedar simbol akan tetapi pelaksanaan dari ajaran itu sendiri. Tidak berlebihan kira ketika seorang Gus Dur sangat terkesan dengan cerpen ini.

Menurut Ivan Adilla, proses kreatif cerpen ini berawal ketika Navis mencuri-dengar sebuah gurauan dari Engku M. Syafei. Gurauan ini menjadi bibit yang semakin bernas bagi Navis ketika menemukan sebuah surau yang roboh di kampungnya. Melalui sebuah perenungan yang mendalam, kesadaran intelektual dalam menginterpretasikan ajaran agama, perpaduan ini melahirkan sebuah cerpen yang masih aktual sampai saat ini.

***

Sebagai penutup, melalui Antologi lengkap ini kita akan dapat menemukan perpaduan dari Alam Minangkabau sebagai sumber ide yang tidak terbatas, diolah secara piawai dengan kesadaran intelektual, menjadikan cerpen-cerpen Navis tetap aktual untuk dinikmati. Mengutip salah satu judul buku yang juga ditulis Navis, “Alam Takambang Jadi Guru”, maka tidak salah rasanya jika kita mengatakan “Alam Takambang juga Jadi Cerpen” (©inal)


* “Alam takambang jadi cerpen” mengacu pada salah satu judul buku A. A. Navis, “Alam Takambang jadi Guru”

Masih Tersisa Perih Itu di Sini

•May 31, 2008 • Leave a Comment

masih tersisa perih itu
ketika lembaran hari berganti
dan langkahlangkah kakimu
menuju entah kemana;
entah untuk apa
entah untuk siapa

hanya segaris senyum nan miris di bibirku
ketika ayunan langkah itu bermula
kau berjalan seperti anak panah
yang terlepas dari busur yang meregang
menelusuri labirinlabirin kota
yang kadang sulit aku mengerti

malam menuju pagi
semua berubah sepi
dan aku masih sendiri di sini
menghayati sisasisa perih ini

Taman MnemoniC, 2008

Kisah itu Telah Berulang, Denai!

•May 24, 2008 • 10 Comments

“Wahai Gunung Tinjau, benamkanlah tubuhku dalam kawahmu yang membara, jikalau aku memang berbuat sumbang salah,” suara Sigiran menggema. Semua orang yang berada di tempat itu seperti terhipnotis. Mereka menatap Sigiran yang berada tepat di pinggir kawah gunung. Asap tipis memutih terus menerus keluar dari sumur kawah raksasa itu.

“Akan tetapi, jikalau aku hanya menjadi korban fitnahan manusia itu,” Sigiran meluruskan telunjuknya ke arah Malintang. “Maka aku tidak akan pernah merelakan tubuhku kau telan. Itu sumpahku.”

“Sigiran anak mande[1],” histeris perempuan setengah baya itu memburu ke arah Sigiran yang telah berada bibir kawah Gunung Tinjau.

Datuak Limbatang, ayah Sigiran, langsung merangkul dan mendekap istrinya yang histeris. Sekuat tenaga ia menenangkan perempuan yang dicintainya itu. Walau hatinya remuk menghadapi kenyataan bahwa Sigiran, anak tunggalnya, harus menerima hukuman berat, namun dicobanya untuk tetap tenang. Sebagai ayah tentu dia tidak rela, apalagi ia yakin Sigiran korban fitnahan. Akan tetapi sebagai salah satu pemuka masyarakat, hukum harus ditegakkan. Dalam persidangan adat beberapa waktu lalu, semua saksi dan bukti menguatkan bahwa Sigiran telah berbuat kesalahan besar, memberi malu dalam kampung, menebar aib dalam nagari.

Sembilan laki-laki yang dikenal dengan sebutan Bujang Sambilan, yang tidak lain keponakan kandung Datuak Limbatang, ikut membantu menenangkan mande Sigiran. Mereka membentuk semacam pagar manusia menghalangi langkah mande yang histeris.

“Tenanglah etek[2],” bujuk Malintang. Mande Sigiran bukannya menjadi tenang, malahan gerakannya bertambah liar sehingga Datuak Limbatang mendekapnya lebih erat lagi.

“Wahai Gunung Tinjau, buktikanlah pada mereka, apakah benar aku yang bersalah?” suara Sigiran menggema dan menghipnotis orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman itu. Tangannya membentang, kepalanya menengadah, bibirnya berkomat-kamit seakan-akan merapalkan mantra atau doa penghabisan, siap untuk terjun ke kawah yang mengepul.

Angin dingin bertiup kencang, desaunya sangat menyayat pendengaran. Butiran-butiran pasir halus berterbangan. Membentuk pusaran yang meruncing di bagian dasarnya, layaknya sebuah mata bor yang berputar kencang, siap melubangi kulit bumi.

“Uda Sigiran,” tiba-tiba terdengar sebuah suara tinggi melengking. Sesosok tubuh perempuan muda, dengan rambut tergerai, meriap kencang seirama langkahnya yang tergesa-gesa, menerobos barisan Bujang Sambilan yang terbengong-bengong. Bujang Sambilan kasip dan tersadar ketika perempuan muda itu, Puti Sani, adik bungsu mereka, telah berdiri di samping Sigiran. Puti Sani memeluk erat tubuh Sigiran.

“Puti Sani!” teriak Malintang dan saudara-saudaranya tertahan.

“Uda Sigiran,” kata Puti Sani lirih. “Aku ikut dengan engkau. Di dunia kita tidak berjodoh, di dasar kawah yang menggelegak itu cinta kita akan abadi.”

“Puti Sani,” Sigiran terharu balas memeluk Puti Sani. Dua wajah mereka berhadap-hadapan. Dua mata mereka bertatap-tatapan, dua tubuh mereka bersatu.

Tidak ada lagi kata-kata terucap dari bibir dua anak muda yang dekap-mendekap itu. Hanya mata mereka mengungkapkan rasa. Hanya senyum di bibir gambarkan keteguhan hati. Hanya getaran tubuh menjadi bahasa. Kemudian serentak, seperti diberi aba-aba, kedua tubuh itu terangkat, meluncur deras menuju dasar kawah Gunung Tinjau.

“Sigiran!” teriak mande tertahan.

“Puti Sani!” teriak Bujang Sambilan serentak.

Datuak Limbatang tertunduk lesu, mande rebah layu. Bujang Sambilan diam terpaku.

Gleeegaaaaarrrrrr………………

Tiba-tiba ledakan mahadahsyat menggema dari kawah. Diiringi semburan material padat yang membara. Asap kelabu bercampur pasir dan debu membumbung, membentuk cendawan raksasa. Udara dingin seketika berubah panas. Gunung Tinjau tiba-tiba mengamuk, murka, dan memuntahkan isi perutnya ke udara.

Hanya sesaat, kemudian senyap. Tidak ada lagi suara, tidak ada lagi tangisan. Semua telah pergi menuju kesunyian.

Sepi.

Sunyi.

Senyap….

***

Terik matahari membentuk bayanganku sama panjang dengan tubuhku. Akan tetapi tubuh ini masih menggigil. Walaupun telah mengenakan sweater wol tebal, namun udara pegunungan yang melingkupi Puncak Lawang mampu menembusnya dan menjamah kulitku hingga melahirkan sensasi dingin luar biasa. Ya, inilah salah satu pesona objek wisata Puncak Lawang, sensasi dingin yang menusuk sampai ke sumsum. Maklum terletak di ketinggian lebih dari 1100 meter di atas permukaan laut. Apalagi buatku yang terbiasa hidup di kota pantai, tentu butuh waktu untuk adaptasi.

Berbeda dengan Klinsi, lelaki berambut jagung muda yang sedari tadi jemarinya menggenggam jemariku. Walau hanya mengenakan kemeja dan celana panjang katun tipis, ia tetap asyik menikmati keindahan alam Puncak Lawang, seakan tidak terpengaruh oleh hawa dingin. Maklumlah, cuaca di negerinya jauh lebih dingin. Bahkan di saat-saat tertentu bisa mencapai angka di bawah nol derajat Celcius.

“Danau Maninjau?” Klinsi menukikan tunjuknya ke arah barat.

“Betul,” jawabku.

“Akhirnya aku sampai juga di sini,” ujar Klinsi. “Menyaksikan bukti cinta yang tidak sampai antara dua anak manusia.”

“Kamu masih ingat legenda itu?” tanyaku kaget.

“Tentu, Denai,” ujar Klinsi tersenyum. “Saya membaca emailmu tentang Legenda Danau Maninjau[3] berkali-kali.”

“Benarkah?”

“Ya,” senyum Klinsi semakin lebar. “Dahulu kala, terdapat sebuah gunung yang dinamakan Gunung Tinjau. Di kaki gunung itu ada sebuah kampung di mana hidup sepasang anak muda, Puti Sani dan Sigiran, yang saling jatuh cinta. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, Puti Sani diasuh oleh sembilan orang kakaknya yang dikenal dengan sebutan Bujang Sambilan. Pada suatu hari terjadi pertengkaran antara Sigiran dengan Malintang, salah seorang dari Bujang Sambilan. Singkat ceritanya, ketika Sigiran dan Puti Sani ingin melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan, Malintang yang masih menyimpan dendam pada Sigiran, berusaha menghalangi. Dia menghasut delapan saudaranya untuk menolak pinangan Sigiran. Akhirnya Malintang mendapat kesempatan untuk melancarkan fitnah pada Sigiran. Fitnah Malintang berhasil dan dalam persidangan adat, Sigiran dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman paling berat, hukum buang. Sigiran dibuang ke kawah Gunung Tinjau….”

“Stop! Stop! Cukup,” aku memotong kata-kata Klinsi. “Lulus,” lanjutku tersenyum sambil menjentik punggung tangannya yang menggenggam jemariku.

“Memangnya saya ikut ujian?” kata Klinsi menimpali. Tawaku pun berderai. Begitu juga dengan Klinsi. Kami tertawa, sampai-sampai telaga bening mataku meleleh dan membentuk genangan di sudut mataku. Klinsi mengusap lelehan itu dengan lembut.

“Lihat!” kataku setelah puas tertawa. Aku meluruskan telunjuk ke arah barat daya Danau Maninjau. Bola mata biru Klinsi mengikuti arah telunjukku. “Ada daratan menjorok ke tengah danau. Daerah itu dinamakan Tanjung Sani. Mitosnya itu adalah sebagai penjelmaan tangan Puti Sani. Perhatikan di seberangnya! Juga terdapat hal yang sama. Mitosnya itu adalah penjelmaan tangan Sigiran. Perhatikan kedua-duanya! Seperti dua tangan yang saling menggapai, tapi tidak kesampaian. Itulah perlambang cinta mereka yang tidak sampai,” lanjutku. Tiba-tiba aku merasa ada yang menyesak di dadaku. Untung Klinsi tidak menangkap perubahan di wajahku.

“Ehm, memang mirip tangan,” Klinsi mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengamati lebih dalam. “Omong-omong, kamu selalu lupa menceritakan nasib Bujang Sambilan?”

“Kawah Gunung Tinjau tidak menerima tubuh Sigiran yang tidak bersalah. Ia murka dan meletus. Dari bekas letusan itu terbentuklah cekungan yang sangat besar dan digenangi air. Itulah Danau Maninjau. Bujang Sambilan menjelma menjadi sembilan ekor ikan besar yang menjaga danau itu.”

“Menarik sekali Denai, sungguh menarik legenda itu,” ujar Klinsi antusias. “Itulah salah satu yang kusuka dari Indonesia, banyak legenda dan kisah menarik. Berbeda dengan di negaraku, legenda-legenda seperti ini semua telah hilang. Semua telah dipeti-eskan.”

Angin bertiup semilir. Matahari semakin condong ke barat. Langit membiru, tidak sepotong awan pun yang mengurangi kebiruannya. Klinsi mengedarkan pandangan berkeliling. Gugusan Bukit Barisan seakan melingkari Danau Maninjau. Juga terlihat jalan berkelok-kelok yang terkenal itu, Kelok Ampat Puluah Ampat. Sementara itu, beberapa parasut paralayang menghiasi langit yang menaungi Puncak Lawang dan Maninjau.

“Aku teringat Romeo-Juliet,” kata Klinsi. “Banyak kemiripan dengan legenda ini.”

“Romeo-Juliet hanyalah kisah yang berulang,” kataku getir. “Jauh sebelum itu ada Laila-Majenun di Timur Tengah, ada Sam Pek-Eng Tay di daratan Tiongkok, kemudian Siti Nurbaya-Samsul Bahri. Versi dan tokohnya mungkin berbeda, tapi inti kisah sama,” lanjutku sambil memalingkan wajah ke arah lain. Aku menyadari pasti terjadi perubahan drastis di wajahku. Ada sesuatu yang menyesak di dadaku. Kutarik nafas dalam-dalam, kuhempaskan seolah-olah melepaskan sebuah beban berat. Ya, semenjak perkenalanku dengan Klinsi, setiap membahas legenda Maninjau, sesak kurasakan. Padahal dulu, sewaktu aku berusia lima atau enam tahun, aku sangat menyukai legenda ini. Akan tetapi sekarang, ah,….

Apakah memang sebuah kisah itu selalu berulang? Apakah kehidupan itu selalu berbentuk bulatan atau lingkaran, sehingga suatu saat, seseorang akan mengulang kembali kisah hidup yang telah dijalani oleh generasi terdahulu?

“Kisah yang berulang? Kisah yang berulang?” Klinsi mengulang kata-kataku sambil mengusap-usap batang hidungnya. Dahinya berkerut, alisnya seolah-olah menyatu ke arah tengah. Tiba-tiba genggam tangannya terasa lebih erat, dan tajam matanya langsung menghujam bola mataku.

“Denai…. Tidak…. Tidak, Denai!”

***

“Siang, Pak!”

“Denai! Masuk! Masuk! Silakan!” selalu sambutan hangat kuterima dari Pak Zulkarnaini, dosen pembimbing skripsiku itu. Aku berjalan memasuki ruangan itu.

“Kebetulan Anda belum pulang. Oh, ya, kenalkan, ini….”

“Klinsi,” lelaki dengan perawakan tinggi besar itu mengulurkan tangannya.

“Denai,” aku menyambut uluran tangannya. “How are you?”

“Baik-baik,” jawabnya dengan Bahasa Indonesia sambil tersenyum simpul. Sementara itu Pak Zulkarnaini tertawa.

“Denai… Denai, pakai Bahasa Indonesia saja. Bule yang satu ini fasih kok, walau kedengaran aneh. Habis bahasanya baku,” ujar Pak Zulkarnaini tertawa. “Nah, kalian sudah berkenalan. Silakan duduk!” lanjutnya.

Aku duduk di depan lelaki yang baru kukenali itu. Sesekali kucuri pandang mengamatinya lebih dalam. Rambutnya pirang – aku menyebut rambut jagung. Perawakannya yang tinggi besar, paling tidak sekitar 185 cm atau bahkan lebih. Kulitnya putih kemerah-merahan, bola matanya biru. Siapa gerangan pemuda ini sehingga Pak Zulkarnaini begitu antusias mengenalkannya padaku.

“Begini, Denai,” Pak Zulkarnaini membuka pembicaraan. “Klinsi ini mahasiswa tingkat master di Hamburg University….”

Oh, dari Jerman, aku membatin.

“Dia sedang melakukan penelitian untuk tesisnya,” lanjutnya. “Saya harap Anda mau membantunya.”

“Topik penelitiannya apa, Pak?” tanyaku.

“Oh, ya, saya lupa. Klinsi mengambil program Sastra Indonesia…”

Oh, pantas Bahasa Indonesianya fasih, kembali aku membatin.

“Kebetulan topiknya sama dengan skripsi Anda, lokalitas Minangkabau dalam karya Sastra Indonesia. Objek penelitiannya yang berbeda. Kalau Anda cerpen-cerpen Navis, sedangkan Klinsi akan meneliti beberapa novel. Tentu kalian dapat berdiskusi dan saling memberi masukan. Anda bersedia, Denai?”

Aku tersenyum sambil mengangguk kepalaku.

Mengenang masa awal-awal perkenalanku dengan Klinsi sekitar tiga tahun yang lalu sedikit menghibur kegundahan hati. Mengingatkanku pada Pak Zulkarnaini, pembimbingku yang super baik itu. Mengingatkanku pada pertemuan-pertemuan dengan sastrawan-sastrawan yang aku kagumi. Dua bulan lebih beberapa hari aku lalui dengan Klinsi. Harus kuakui, pemuda Jerman ini memang tipikal panser, tidak mengenal lelah. Bayangkan, kecuali Minggu pagi – yang digunakannya untuk beribadah, hari-harinya selalu diisi dengan diskusi denganku, dosen, dan sastrawan-sastrawan yang kami kunjungi; membaca di perpustakaan; menulis laporan; menyusun agenda; dan banyak lagi.

“Revolusi berhenti pada Hari Minggu,” candaku suatu hari mengutip sebuah judul buku.

“Tetapi poros bumi tidak mengenal Hari Minggu,” tanggapnya serius.

“Dasar mesin Jerman,” candaku lebih lanjut.

Tenggat waktu penelitian yang tiga bulan, hanya terpakai dua per tiganya. Hal ini membawa dampak positif bagiku. Pada awalnya aku yang tidak ingin membebani diri, memasang target setahun untuk skripsi, ternyata selesai dalam waktu yang lebih pendek. Target waktu studi sembilan atau sepuluh semester, kelar dalam delapan semester. Aku lulus dengan nilai sangat memuaskan dan mendapat kesempatan memperoleh beasiswa dari almamaterku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Thank you very much. I’ll miss you, Denai,” ujar Klinsi di bandara ketika ia akan pulang ke negaranya. Ini kali pertama aku mendengar ia menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan. Ia menggenggam tanganku erat-erat. Aku hanya diam. Kubahasakan perasaan pada tembok-tembok kaca yang retak dan mulai berderai di mata ini. Kami larut dalam suasana. Keakraban yang tumbuh telah dicabut paksa oleh perpisahan yang sama-sama tidak dikehendaki.

Setelah kepergian Klinsi, aku merasa ada yang hilang dalam hari-hariku. Ada kekosongan yang tidak terbahasakan dengan kata-kata tiba-tiba menyergap. Untunglah emails dan postcards dari Klinsi rutin menemuiku. Paling tidak satu atau dua surat elektronik dalam seminggu, dan satu kartu pos setiap bulan. Tentunya tidak ketinggalan suaranya di gagang telepon atau di telepon genggamku.

Dari surat-surat elektronik, postcards, dan suara di telepon inilah, benih rasa yang dulu tidak kami sadari mulai berkecambah. Jarak yang membentang ribuan mil, menjadi pupuk alami yang menyuburkannya. Kecambah berkembang menjadi tunas, membentuk bangun utuh dari tanaman yang bernama cinta. Kuncup-kuncup mulai tumbuh di sela daun yang rimbun. Akan siap mekar ketika menemukan pancaran cahaya dari matahari di wajah kami masing-masing.

Dan pancaran matahari itu datang kini.

Tidak terasa, hampir tiga tahun berlalu. Aku berhasil menyelesaikan master di usia yang relatif muda, belum genap 26 tahun. Tepat di hari wisuda masterku, aku dikagetkan oleh sebuah suara yang khas dan selalu kurindukan.

“Congratulations, Denai!”

“Klinsi!” kelopak mataku membuka lebar. Aku seakan tidak percaya dengan penglihatan sendiri. Seorang lelaki dengan kulit putih kemerah-merahan mengulurkan tangannya, memberi ucapan selamat. Sementara itu di sebelahnya berdiri Pak Zulkarnaini dengan senyuman yang khas.

Kuncup-kuncup di hatiku tersentak. Matahari di wajah Klinsi mengusiknya. Aku tidak dapat lagi mencegahnya untuk bermekaran.

Namun sayang hanya sesaat, kuncup yang baru mekar itu segera layu. Ada tangan-tangan yang merenggutnya paksa.

“Denai, satu pesan orang tua kita sebelum mereka meninggal dalam kecelakaan itu,” suara ngebas kakak tertuaku menasehati, “Carilah pasangan hidup yang seiman dengan kita.”

“Tapi Da, aku menghargai keyakinannya untuk memeluk kepercayaannya sekarang. Itu haknya….”

“Tidak, Denai, aku tidak mengizinkan kamu menikah dengannya,” suara kakakku meninggi. “Kecuali dia mau berpindah keyakinan. Titik.”

“Tapi, Da, aku tidak mau ia berpindah keyakinan hanya karena mau menikah,” ujarku berargumen. “Keyakinan yang dianut sejak lama, ditukar begitu saja karena pernikahan, bukankah itu artinya mempermainkan keyakinan?” debatku sengit.

“Ya, sudah, berarti dia tidak bisa menikahimu.”

“Tapi, Da….”

“Tidak!”

“Da….”

“Denai,” kakakku itu merengkuh kepalaku dan membenamkan di dadanya. “Orang tua kita memberikan nama ‘Denai’ untukmu. Apakah kamu tahu harapan mereka di balik namamu itu?” lanjut kakaku setelah ia menyadari bahwa perdebatan ini tidak akan ada titik temunya. Aku mengetahui kebiasaannya ini. Selalu begitu, setiap ada perdebatan denganku, ketujuh kakak laki-lakiku, pasti tidak akan mau melanjutkan adu argumen denganku. Mereka menyadari bahwa tidak akan menemukan titik temunya. Satu-satunya jalan adalah dengan menorek-ngorek dinding sensitif perasaanku.

“Denai berasal dari bahasa ibu kita yang berarti ‘aku’. Kamu tahu maknanya?” kakakku menurunkan nada dan tempo suaranya sehingga seolah-olah seperti bisikan halus di telinggaku dan menyentuh relung terdalam perasaanku.

Aku hanya tertunduk. Sementara itu dua bola mataku mulai terasa hangat. Inilah kelemahanku, kalau sudah menyinggung soal orang tua kami, pasti ada yang menyesak di dadaku. Kenangan yang serba sedikit karena kepergian ayah dan ibu ke kesunyian abadi terlalu cepat – ketika aku berusia empat tahun. Pertemuan yang singkat inilah yang membuat sebuah ruang kosong yang sangat sensitif. Inilah yang selalu disentuh oleh kakakku ketika mereka kehabisan kata-kata beradu argumentasi denganku.

“Orang tua kita menitipkan satu harapan pada namamu. Jadilah diri sendiri, jadilah ‘aku’. Namun di balik keakuan itu, ada hal-hal lain yang juga mesti dipertimbangkan. Norma yang berlaku dalam masyarakat kita misalnya. Bagi masyarakat kita, keyakinan yang ditanamkan pada kita semenjak kecil adalah harga mati. Terlepas nantinya nilai-nilai yang terdapat dalam keyakinan itu dijalankan atau tidak dalam kehidupan. Bagi masyarakat kita, yang penting sampul luarnya harus sama.”

“Munafik!” suaraku melemah.

“Mungkin, tapi itulah masyarakat kita, Denai.”

***

“Kisah yang berulang,” Klinsi masih menggumamkan kata-kata itu ketika kami melaju dari Puncak Lawang menuju Danau Maninjau. Aku yang berada di belakang kemudi hanya menarik nafas dalam. Tidak mau menanggapi lebih jauh. Aku memilih untuk lebih berkonsentrasi pada tikungan-tikungan tajam di kawasan Kelok Ampat Puluah Ampat.

“Aku tidak ingin kisah itu berulang pada kita, Denai.”

Aku hanya diam. Terbayang masa-masa depan yang suram. Harapan yang aku dan Klinsi tanam, tidak mungkin tumbuh subur. Terlebih dahulu sudah tercerabut oleh perbedaan mendasar yang kami yakini.

Aku merasa lelah. Letih dengan kondisi ini. Tanpa kusadari bola mataku mengkristal seperti ada kaca-kaca bening tipis melingkupinya. Sebentar kemudian kaca-kaca itu memburam, retak, dan siap berderai. Kuusap mata dengan lengan yang terbungkus sweater wol.

“Denai! Awas!” tiba-tiba Klinsi meraih setir dan membantingnya ke kiri.

Sebuah mobil Colt Diesel tiba-tiba muncul di depanku. Aku gugup dan tidak mampu mengendalikan semua. Kaki kananku yang seharusnya menginjak pedal rem, malah menginjak pedal gas lebih dalam. Tangan Klinsi tiba-tiba meraih setir dan membantingnya. Mobil itu selip tidak terkendali dan mengarah ke kiri, di mana terdapat jurang yang menganga.

Gleeegaaaaarrrrrr………………

Sebuah ledakan diikuti semburan api membentuk sebuah bola besar membumbung ke udara begitu moncong VW kesayanganku itu mencium dasar jurang yang rimbun. Api seakan murka, melalap pepohonan hijau yang tak berdosa.

Hanya sekejap, semua berubah senyap.

Sepi.

Sunyi.

Senyap….

Ketika aku bangkit, kurasakan tubuh ini sangat ringan, melayang bebas di udara seperti bunga ilalang yang tertiup angin. Pakaianku yang putih bersih dan agak longgar berkibar-kibar. Begitu juga dengan Klinsi, melayang tepat di sebelahku. Tangannya kanannya menggenggam tangan kiriku.

“Kisah itu telah berulang, Denai,” Klinsi tersenyum meluruskan telunjuk kirinya mengarah ke bekas ledakan tadi, “Sekarang kita yang menjadi tokohnya.”

Mataku mengikuti arah telunjuk Klinsi. Terlihat sesosok tubuh perempuan berbalut sweater wol tebal, dan sesosok tubuh lelaki berbalut kemeja katun tipis, tertelungkup berseberangan. Tangan-tangan mereka saling menggapai – tapi tidak sampai – di atas sebuah cekungan yang terisi air, membentuk kolam kecil yang jernih. Sembilan ekor ikan kecil berenang di dalamnya.***

<head>https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-4385546875208337</head>



[1] Mande (Minangkabau) : ibu

[2] Etek (Minangkabau) : tante, bibi

[3] Terdapat beberapa versi legenda terjadinya Danau Maninjau. Dalam cerpen ini mengacu pada legenda yang pernah diadaptasi ke bentuk sinetron dan ditayangkan di TVRI beberapa tahun yang lalu.

Temu Penyair Lima Kota dan Penolakan Penyair Muda Bandung

•May 18, 2008 • Leave a Comment

Tanggapan atas artikel opini S. Metron M. yang dimuat di Padang Ekspres Minggu, 4 Mei 2008
Artikel ini dimuat di Padang Ekspres Minggu, 18 Mei 200

….Yang ironis, justru yang paling keras menolak acara Temu Penyair Lima Kota ini adalah penyair dari Bandung berdarah Minangkabau.

Membaca artikel opini di Padang Ekspres, Minggu, 04 Mei 2008, yang berjudul Temu Penyair 50 Kota, Sebuah Catatan Kritis, yang ditulis oleh S. Metron M (SMM) saya mencatat beberapa hal yang justru perlu juga dikritisi dari tulisan yang kritis ini. Beberapa hal dalam tulisan ini ternyata tidak tepat atau tidak berdasarkan fakta-fakta yang ada. Saya tidak tahu kenapa hal itu terjadi dan saya tidak mau menduga-duga mengapa ketidaktepatan itu terjadi.

Dalam pelaksanaan sebuah kegiatan atau acara sastra, tentu saja panitia membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Begitu juga dengan acara Temu Penyair Lima Kota (TPLK), 27-29 April 2008, di Kota Payakumbuh atau Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali (TPMJBB) yang saya dan teman-teman penyair muda Bandung laksanakan tahun 2005 lalu. TPMJBB mendapat dukungan dari Pemda. Terbukti bahwa kemudian penyair-penyair yang ikut serta menginap (tentu saja gratis) di Gelanggang Generasi Muda (GGM) Bandung –bukan di toko atau rumah orang seperti yang ditulis dalam artikel itu– yang merupakan milik Pemda Bandung. Perlu saya luruskan, memang ada penyair muda Bali yang menginap di rumah kontrakan saya pada waktu itu, tapi hal ini disebabkan mereka datang lebih awal dan mereka menambah waktu kunjungannya setelah acara tersebut. Akan tetapi, selama kegiatan, mereka justru menginap di GGM Bandung. Namun perbedaan dukungan antara TPLK dengan TPMJBB terletak pada “kepemilikan” acara. Seperti tercantum dalam proposal, jelas bahwa TPMJBB diselenggarakan oleh jaringan komunitas dengan dukungan dari berbagai pihak. Sementara itu TPLK, sesuai dengan proposal yang saya baca, acara ini dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Kota Payakumbuh. Inilah ketidakakuratan pertama.

Pernyataan Sikap Penyair Muda Bandung

Menyoalkan ketidakhadiran dan pernyataan sikap penyair muda Bandung pada acara TPLK, tentu kita tidak bisa lepas dari rentetan-rentetan kejadian yang melatarinya.

Temu Penyair Muda ini pertama kali digagas oleh beberapa orang penyair muda dari Bandung dan Denpasar. Setelah melakukan beberapa pembicaraan, baik lewat telepon, surat elektronik, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan tatap muka di Bandung pada awal tahun 2005, maka disepakati untuk mengadakan sebuah acara. Berangkat dari titik pijak sama atas keprihatinan bahwa penyair-penyair muda selama ini seringkali sangat sulit untuk eksis, baik itu di media maupun dalam kegiatan-kegiatan sastra lainnya, maka timbul kesepakatan untuk membuat sebuah “gerakan” untuk memperjuangkan eksistensi penyair-penyair muda. Untuk kali pertama disepakati untuk melaksanakan acara Temu Penyair Jawa Barat – Bali di Bandung sebagai tonggak awal. Pertimbangan kenapa hanya Jawa Barat dan Bali pada waktu itu karena acara itu adalah pijakan pertama. Nantinya kegiatan ini akan terus bergulir dan berkembang dengan mengajak rekan-rekan penyair muda dari daerah lain untuk bergabung dan hal itu mulai terwujud ketika pada tahun 2007 diadakan Temu Penyair Muda 4 Kota (TPMEK) di Jogjakarta yang merupakan kelanjutan TPMJBB.

Jadi, ketika kali pertama dicetuskan bukanlah semata sebagai acara kumpul-kumpul, diskusi, lalu baca puisi. Juga bukan dilandasi oleh semata ada gap antara penyair muda dengan penyair tua seperti yang ditulis SMM. Toh, saya dan penyair-penyair tua di Bandung juga sering duduk bersama, berdiskusi banyak hal. Ini adalah sebuah gerakan dari, oleh, dan untuk penyair muda untuk eksis dan maju bersama.

Kembali pada acara TPLK, saya sepakat dengan SMM bahwa ketika sebuah acara diniatkan sebagai penerus acara sebelumnya, tentu harus taat pada kesepakatan yang telah dibuat. Dalam rapat setelah acara Temu Penyair Muda 4 Kota di Jogjakarta, tahun 2007 lalu, disepakati (bukan ditunjuk) bahwa teman-teman (komunitas-komunitas sastra) di Padang menjadi tuan rumah selanjutnya. Tentu saja dengan konsep yang sama. Sedangkan masalah peserta, disepakati juga pada waktu itu bahwa, akan diperluas sesuai dengan kesanggupan teman-teman di Padang. Juga pada kesempatan itu disepakati bahwa tenggat waktu pelaksanaanya paling lambat bulan Agustus 2008. Untuk mempermudah komunikasi, maka dibuatlah mailing list “danaupuisi”.

Dalam perjalanannya kemudian, tiba-tiba saya mendapat kabar bahwa acara itu akan diadakan di Payakumbuh dan Komunitas Intro yang menjadi pelaksananya. Pada awalnya saya dan teman-teman penyair muda Bandung dapat menerima kondisi ini. Namun ketika proposal acara sampai ke tangan saya –saya diminta jadi koordinator penyair muda Bandung- sungguh sangat mengejutkan bahwa ternyata acara itu dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Kota Payakumbuh (DKKP) bekerjasama dengan Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Payakumbuh dan Dewan Kesenian Sumatera Barat. Di sinilah titik pangkal silang pendapat pendapat antara penyair muda Bandung dengan panitia.

Silang pendapat ini sebenarnya telah coba diurai dan dicari titik temunya. Namun tetap saja dua belah pihak kukuh pada pendiriannya. Akhirnya penyair muda Bandung bersepakat untuk tidak berpartisipasi dan menolak klaim panitia yang menyatakan bahwa TPLK adalah kelanjutan dari dua acara sebelumnya.

Puncaknya adalah ketika pernyataan Iyut Fitra sebagai ketua pelaksana TPLK yang dimuat di salah satu media nasional, Kompas, yang tetap mengklaim bahwa TPLK merupakan kelanjutan dari dua acara temu penyair muda sebelumnya. Sehari setelah pernyataan itu ditayangkan, 13 orang penyair muda Bandung yang menggagas dan ikut terlibat dalam dua acara sebelumnya membuat surat pernyataan yang memuat poin utamanya adalah menolak klaim bahwa TPLK bukanlah kelanjutan dari TPMJBB dan TPMEK.

Surat pernyataan itu disusun dan ditandatangani oleh 13 penyair muda tersebut dengan penuh kesadaran untuk menunjukan sikap konsisten pada gagasan awal acara temu penyair muda, tentu dengan telah mempertimbangkan segala konsekuensinya.

Penutup

Sengaja saya mengawali tulisan saya ini dengan kutipan “Yang ironis, justru yang paling keras menolak acara Temu Penyair Lima Kota ini adalah penyair dari Bandung berdarah Minangkabau”. Walau tidak disebut secara eksplisit nama penyair dari Bandung yang berdarah Minangkabau itu, saya dan kita semua dapat menduga “hidung Malin Kundang” mana yang ditunjuk oleh SMM. Saya hanya ingin meluruskan bahwa 13 orang penyair muda Bandung yang menandatangani Surat Pernyataan itu sama-sama menolak keras klaim TPLK adalah kelanjutan dua acara sebelumnya.

Kemudian saya hanya dapat tersenyum sambil balik bertanya dalam hati, lebih ironis mana ya, kalau seorang individu (penyair) kehilangan kekritisannya hanya karena persoalan primordial atau kesukuan?(©sangdenai)


Cerita dari Seberang

•May 9, 2008 • 1 Comment

kepada Eshira Okino

inilah cerita dari seberang
tentang air sungai yang tidak lagi menyejukan
udara yang kian sesak oleh asap dan debu
juga cahaya matahari yang makin terik;
menusuk setiap ubunubun
dengan pedangpedang sinarnya

inilah cerita dari seberang
tentang kotakota yang tidak lagi bersahabat
jalan yang kian terasa sempit dan sesak
juga tentang trotoar yang makin sempit;
orangorang berebut lahan
demi sejumput rejeki yang kian sulit

inilah cerita dari seberang
tentang orangorang yang tidak lagi ramah
diburu waktu pagi dan petang
juga tentang tangis bayibayi malang;
di antara kakikaki yang melangkah
dengan angkuh di depan mereka

inilah cerita dari seberang
yang kututurkan lewat puisipuisiku;
karena lewat puisi aku bisa melihat dunia
dengan mata hatiku

Taman MnemoniC, 2008

Datuak Malenggang di Langik*

•January 9, 2008 • 2 Comments

“ASSALAMUALAIKUM….”

“Waalaikumsalam…. O, Buyuang Denai. Masuklah, Yuang. Duduk… duduklah, Yuang!”

“Baiklah, Mak Kayo. Terima kasih.”

“Minum apa malam ini, Buyuang? Kopi, teh, kopi susu, atau teh-telur”

“Teh-telur sajalah, Mak Kayo.”

“Ambo buatkan. Bagaimana kabar kuliahnya, Yuang? Libur?”

“Indak, Mak.”

“Kalau tidak libur, kok bisa pulang kampung?”

“Ambo tinggal menyusun skripsi. Jadi tidak perlu tiap hari datang ke Limau Manih. Mumpung di kampung kita akan ada acara baralek gadang, ambo sempatkan untuk pulang. Seumur hidup ambo, baru kali ini baralek gadang batagak penghulu dilaksanakan di kampung kita.”

“Memang betul, sudah lama tidak ada acara ini…”

“Assalamualaikum….”

“Waalaikumsalam….”

“Waalaikumsalam…. O, Mak Basa. Masuklah, Mak. Duduk… duduklah, Mak!”

“Baiklah, Kayo. Terima kasih.”

“Minum apa Mak Basa? Kopi, teh, kopi susu, atau teh-telur”

“Kopsteng[2], Kayo.”

“Jadi, Mak.”

“Bagaimana kabarnya, Pak Basa?”

“Baik, Yuang…, Yuaaang…?”

“Denai nama ambo Pak.”

“Denai, ya Denai. Lupa ambo. Anaaak…?”

“Ayah ambo Sutan Malenggang di Langik.”

“Iya, iya… Baru ingat ambo. Anak Sutan Malenggang di Langik, berarti jalan anak juga bagi ambo.”

“Iya, Pak.”

“Ini kopinya, Mak Basa.”

“Terima kasih, Kayo. Minum Yuang.”

“Iya, Pak.”

“Fuuuh… fuuuh… Srupuuutt… ah…. Panas.”

“Ini teh-telurnya, Yuang.”

“Terima kasih, Mak Kayo. Sama-sama minum awak Pak.”

“Ya, Yuang.”

 

***


“OH, ya, Mak Basa. Sebentar lagi akan ada baralek gadang di kampung kita. Bagaimana menurut pendapat Mak Basa?”

“O, iya. Beberapa hari yang lalu ambo di-kisa[3]-kan ke rumah Si Pangka. Merundingkan mengenai acara malewakan-gala Datuak Malenggang di Langik. O, iya, bukankah urang-rumah-bako Buyuang Denai ini yang menjadi Si Pangka? Bukankah begitu Denai?”

“Iya, Pak Basa.”

“Mak Basa kenal dengan calon Datuak Malenggang di Langik yang akan diangkat?”

“Sekedar tahu orangnya. Kalau tidak salah, saudara sepupu ayahnya Buyuang Denai ini. Namanya Fikkie. Ambo lupa gelarnya. Setahu ambo Sutan Malenggang di Langik, ayah Denai, dan Fikkie ber-dunsanak ibu.”

“Ambo hanya mengenal namanya saja, Mak Basa. Belum pernah bertemu langsung. Paling-paling ambo hanya melihat beliau di teve.”

“Sama, Mak Kayo. Ambo juga belum pernah bertemu langsung. Pak Basa pernah bertemu beliau?”

“Pernah, sekali. Selebihnya, ya, sama, ambo hanya melihat di televisi. Rokoknya sebatang Kayo.”

“Ya, Mak.”

“Ambo juga sebatang, Mak Kayo.”

“…….”

“Hsssttt… hufff.”

“Hsssttt… hufff.”

“Berapa kira-kira umur Pak Fikkie itu, Mak Basa?”

“Kalau tidak salah, beliau sekitar satu atau dua tahun di atas ambo. Berarti sekitar 54 atau 55 tahun.”

“Berarti sama dengan umur ayah ambo ya Pak?”

“Ya, mereka seumur.”

“Tetapi ayah tidak begitu akrab dengan beliau, Pak?”

“Fikkie lahir di perantauan. Ayahnya orang seberang. Sedangkan ibu Fikkie adik dari nenek angku, Yuang. Seingat ambo, baru sekali dia pulang ke kampung. Sekitar dua puluh lima tahun lalu. Saat itu ambo bertemu dengannya.”

“Dua puluh lima tahun yang lalu? Belum lahir angku Yuang.”

“Benar Mak Kayo. Umur ambo baru dua puluh satu tahun.”

“Memang sudah lama. Sejak itu ambo tidak pernah bertemu lagi. Tahu-tahu dia sudah menjadi orang besar. Wajahnya tiba-tiba sering muncul di televisi. Menjadi politikus dia sekarang.”


***

 

“SRUPUUUTT… Huuufff….”

“Srupuuutt… Huuufff….”

“Sebenarnya ambo kurang setuju dengan pengangkatan Pak Fikkie menjadi Datuak, Pak Basa, Mak Kayo.”

“Mengapa kurang setuju, Yuang? Apa sebabnya?”

“Kurang setuju? Ambo justru sangat setuju. Sudah saatnya batang terendam itu dibangkit, baju yang terlipat dikembangkan lagi. Bukan begitu Mak Basa?”

“Iya.”

“Bukan membangkit batang terendam yang menjadi masalahnya Mak Kayo.”

“Lantas?”

“Ambo kurang setuju dengan figur yang akan menyandang gelar Datuak Malenggang di Langik.”

“Kurang setuju dengan figur Fikkie?”

“Ehmm…”

“Srupuuut…. Ya, menurut ambo Pak Fikkie bukan sosok yang tepat.”

“Menurut ambo sangat tepat, Yuang. Bukankah begitu Kayo?”

“Betul, Mak Basa. Pak Fikkie itu orang besar.”

“Ya, menurut ambo juga begitu. Beliau merupakan orang yang cocok. Orang yang pas. Beliau memenuhi segala rukun-syarat untuk menjadi datuak. Ibunya jelas-jelas orang awak, walaupun bapaknya orang seberang. Kita ini menarik garis keturunan dari ibu. Ini jelas memenuhi syarat. Kita harus bangga, ada orang kampung kita yang menjadi sosok yang dikenal orang se-Indonesia. Sekarang beliau diangkat menjadi datuak.”

“Justru beliau belum memenuhi rukun-syarat itu, Pak Basa.”

“Hsssttt… hufff. Apa yang belum dipenuhinya? Dia telah mengisi cupak, menuang limbago. Seekor kerbau siap direbahkan, disembelih untuk menjamu orang sekampung. Tujuh hari tujuh malam lamanya. Semua persyaratan sudah dipenuhi.”

“Untuk menyandang gelar datuak di Minangkabau ini tidak cukup hanya itu, Pak.”

“Ah, kalian yang muda-muda ini tahu apa tentang adat? Pandainya cuma mendebat saja. Bukankah begitu tabiat anak-anak muda sekarang, Kayo?”

“………”

“Lihat! Kayo menganggukan kepalanya tanda setuju. Memang begitu adat anak muda sekarang. Pandainya cuma mengkritik.”

“Bukan begitu Pak Basa. Dengar dulu penjelasan ambo!”

“Baiklah, ambo dengar penjelasan angku, Buyuang Denai.”

“Di Minangkabau ini, datuak bukanlah gelar kehormatan….”

“Bukan gelar kehormatan bagaimana maksudnya? Sangat terhormat seseorang ketika ia diangkat menjadi datuak.”

“Terhormat, memang betul. Akan tetapi tujuan utama pengangkatan datuak bukanlah sebuah kehormatan. Lebih menitikberatkan pada tugas. Sangat berat tugas yang diemban seorang datuak.”

“Terus….”

“Tanggung jawab seorang datuak terutama pada kaum kerabatnya. Untuk menjalankan tugasnya itu, selayaknya ia mengetahui kondisi kaum kerabatnya. Apa yang diketahui oleh Pak Fikkie tentang kaumnya selama ini? Beliau dibesarkan dalam tradisi lain. Lebih setengah abad umurnya, baru sekali menginjakkan kaki di kampung halamannya ini. Beliau tidak mengenal kaum keluarganya secara dekat. Bahkan selama ini beliau selalu mengaku dirinya sebagai orang seberang. Beliau lebih mengakui garis keturunan bapaknya. Berbeda dengan kita yang mengakui garis keturunan ibu.”

“Terus….”

“Tiba-tiba saja ada rencana baralek gadang untuk mengangkatnya menjadi datuak. Ambo jadi curiga pasti ada sesuatu di balik ini. Jangan-jangan ini hanya sekedar untuk gengsi-gengsian. Hanya untuk memperlihatkan bahwa kita beradat.”

“…….”

“Lebih pada hanya sebatas baralek. Setelah itu apa? Beliau balik ke rantau, meninggalkan kaumnya. Benar-benar melenggang di langit dia, sedangkan kaum kerabat yang berada di bumi terlupakan. Benar-benar klop dengan gelarnya, Datuak Malenggang di Langik. Dan ambo yakin, Pak Fikkie lebih tertarik mengurus politik, ketimbang mengurus kaumnya. Atau mungkin pengangkatannya ini mengandung muatan politik tertentu?”

“Soal politik ambo tidak mengerti. Jangan bawa-bawa soal politik. Bukankah begitu Kayo?”

“Iya, Mak.”

“Baiklah, kita berbaik sangka. Mudah-mudahan tidak ada muatan politik tertentu.”

“Apalagi yang kau khawatirkan Yuang?”

“Seperti yang ambo katakan tadi, datuak di Minangkabau lebih merupakan tugas daripada gelar kehormatan. Ia hanya ditinggikan satu ranting, didahulukan satu langkah dalam memimpin kaumnya, sehingga kaumnya lebih mudah untuk mengontrol jika ia salah langkah. Datuak merupakan suluh bendrang dalam nagari, terutama bagi kaumnya. Bagaimana mungkin calon Datuak Malenggang di Langik akan menjadi suluh bendrang kalau menerangkan diri sendiri belum mampu?”

“Angku seperti menuduh dia tidak mampu menjadi suluh bagi dirinya sendiri?”

“Kenyataannya begitu. Apa yang telah diperbuat buat anak-kemenakannya? Apa yang telah diperbuat untuk buah paruiknya? Tidak ada, atau secara nyata belum terlihat. Belum berbuat apa-apa untuk kaumnya, apakah itu yang disebut telah mampu menjadi suluh bendrang dalam nagari?”

“…………”

“Seperti yang ambo katakan tadi, selama ini dia lebih mengakui garis keturunan bapaknya. Ini hanya euforia saja….”

“Terserahlah, Yuang. Tidak mengerti ambo yang angku maksudkan. Kita cukupkan dulu, kalau kita perdebatkan lebih lanjut, tidak akan ada titik temu. Tidak bertemu ujung pangkalnya, bak mengukur kain sarung. Ambo harus jalan dulu.”

“Kemana Mak Basa?”

“Ke baruh sebentar. Memasukan air ke sawah ambo malam ini, biar besok sudah menggenang dan siap untuk dibajak. Berapa semua Kayo?”

“Apo sajo Mak Basa?”

“Kopsteng samo goreng pisangnya satu. Rokoknya sebatang. Angku apa saja Yuang?”

“Tidak usah Pak Basa.”

“Semuanya saja Kayo. Sama yang pesan Buyuang Denai.”

“Kopsteng, goreng pisang satu, teh-telur, sama rokok dua batang. Jadi empat ribu lima ratus Mak.”

“Ini uangnya. Terima kasih Kayo. Dulu ambo Yuang. Kapan-kapan kita sambung lagi.”

“Iya Pak. Terima kasih banyak Pak Basa.”(©inal)


Biaro, Juli 2004

Wacana pembukaan untuk menggali kembali khasanah budaya Minangkabau.

 

 

Keterangan :

Versi cetak cerpen ini dimuat di Padang Ekspres Minggu, 31 Juli 2005

 

  


*nama yang tercantum pada judul ini hanya imajinatif dan penulis terinspirasi oleh nama tokoh Sutan Malenggang di Langik dalam film Samson Betawi.

[2] kopsteng : akronim dari kopi setengah

[3] kisa (Minangkabau) : arti harfiahnya dipindahkan. Dalam konteks ini maksudnya diundang.

Ibu, Tolong Bicaralah!

•December 13, 2007 • 1 Comment

2003

Aku menatap seraut wajah itu. Sekilas terlihat guratan kedukaan membayang di sana. Sekilas memang. Namun aku dapat menangkap betapa beratnya beban hidup yang ditanggungnya. Seperti gunung es di tengah lautan, hanya sebagian kecil yang terlihat dari permukaan. Jika mau menelusuri lebih jauh, akan kita temukan gunung es yang lebih besar di bawah permukaan air. Bahkan mungkin lebih besar dari yang mampu kita bayangkan.

Aku menatap seraut wajah itu, wajah yang sangat kukenal. Setiap lekukannya terekam dengan baik dalam memoriku. Walaupun kerutan-kerutan ketuaan yang kian hari kian bertambah, baik jumlah maupun ketegasan garis-garisnya. Dan rambut yang mulai memutih dan menipis, memang tidak seperti dulu lagi. Tubuh ringkihnya terbaring di ranjang besi beralaskan kasur kapuk dan seprai putih. Sesekali terdengar tarikan nafas yang mengeluarkan suara yang menghipnotisku. Ya, semua telah berubah, semua yang ada padanya mulai luruh seiring dengan pergantian waktu. Tapi semua itu tidak mampu menepis sosoknya dari ingatanku.

Pulanglah! Hampir setahun ibumu terbaring di rumah sakit, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Mungkin hanya engkau yang dapat menghibur hatinya, begitu bunyi telegram kuterima seminggu lalu.

Harus ku akui, aku tidak dapat seperti I Gusti Ngurah Daku[1]), yang mampu mengabaikan telegram yang mengabarkan tentang sakit ibunya. Bahkan ketika berita kematian ibunya menjadi berita pembebasan baginya. Ya, aku tidak mampu seperti itu. Sosok ibu sangat mewarnai duniaku. Mewarnai hidupku. Dan hanya ibuku satu-satunya sosok manusia yang sangat kuhormati, kusayangi dan kucintai, walau pun dalam beberapa hal aku sering berbeda pendapat dan prinsip dengannya.

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
…………….[2])

Ibu, apakah engkau ingat ketika bait-bait selalu menjadi dongeng pengantar tidurku di masa lalu, pada masa anak-anak. Suaramu yang lugas dan jelas, intonasinya – yang menurutku – sangat menghibur dan melahirkan ketenangan bagiku. Mengantarkan aku menuju alam mimpi indah.

Lebih sepuluh tahun aku tidak lagi mendengar merdu suaramu, Ibu, suaramu ketika mengalunkan bait-bait itu. Semenjak kepergianku ke negeri seberang. Kepergian yang menurutku bukanlah seperti yang diharapkan bait-bait itu, Ibu. Pergi dengan tiang layar yang patah, layar yang koyak, dan badai yang mengombang-ambing permukaan laut bebas. Kepergian yang lebih karena adanya pertentangan antara aku dengan ibu, terutama dengan lelaki itu. Lelaki yang 23 pasang kromosomnya membentuk diriku. Lelaki yang di dalam tubuhku mengalir darahnya. Dan lelaki itu sekarang berdiri di sampingku.

Di usiaku yang belum genap 17, keputusan berat itu aku harus ambil dan jalani. Keputusan untuk meninggalkan semuanya. Meninggalkan masa remajaku di usia yang masih sangat muda. Mengambil alih semua tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Hari ini aku telah berada di sampingmu lagi, Ibu. Walaupun itu hanya untuk sementara waktu karena perjalananku ke laut lepas belum tuntas. Mungkin hanya dua atau tiga hari, mungkin dua atau tiga minggu. Tergantung pada kondisi kesehatanmu. Dan pada saat ini, hanya satu pintaku, Ibu, tolong bicaralah. Bicara apa saja yang ibu mau, aku akan dengar, karena aku dan semua orang merindukan suaramu.

***

Akhirnya kau pulang juga, anakku.

Seperti ketika pergi dulu, engkau kembali bukan seperti yang selalu kita bayangkan melalui puisi itu. Senjamu belum tiba, elang laut pun masih terbang mengarungi alam luas. Perahumu kembali bukan karena arah angin menuju benua, dan nakhodamu hanyalah terpaksa untuk mengarahkan dirimu kembali ke sini. Engkau kembali bukan untuk bercerita tentang cinta dan hidupmu di pagi hari, seperti yang selalu kita gambarkan dengan penghayatan dan bahasa tubuh ketika membacakan puisi itu. Engkau kembali ke tempat yang menggoreskan segurat luka yang menganaksungaikan darah dan bernanah di hatimu.

Sepuluh tahun lebih bukanlah rentang waktu yang singkat. Namun aku yakin itu belum cukup bagimu untuk mengarungi dunia luas. Pergi ke alam bebas. Walaupun aku menyadari bahwa ketika engkau pergi dulu, aku merupakan salah satu manusia yang menggoreskan luka itu. Cukup satu goresan, akan tetapi aku yakin, goresanku itulah yang paling dalam dan membekas. Aku menyadari, sangat sulit bagimu mengeringkan luka itu. Mungkin hanya aku yang dapat membantumu untuk mengobatinya. Dan kini saatnya anakku.

Hampir tiga tahun aku membisu. Diam seribu bahasa. Semua orang panik. Mereka menganggap perubahan pada diriku sangat mendadak. Padahal kalau mereka mau menengok ke belakang, sebenarnya telah terjadi suatu proses yang sangat panjang dan berliku. Proses yang menyadarkan aku akan ada sesuatu yang seharusnya tidak terjadi atau seharusnya bisa aku cegah untuk terjadi. Puncaknya adalah kepergianmu itu, anakku. Kepergianmu dengan membawa luka yang ditorehkan oleh lelaki itu, lelaki yang secara normatif seharusnya menjadi orang yang sangat kau hormati. Lelaki yang telah hampir tiga tahun tidak pernah lagi kusentuh dan tidak berani, aku tegaskan ia tidak berani lagi menyentuhku, walaupun, sekali lagi, secara normatif tidak ada larangan untuk itu.

Setahun belakang ini tubuhku yang semakin ringkih dan terbaring dalam penyesalan yang panjang. Terbaring dalam sebuah penantian akan dirimu.

Hari ini telingaku menangkap degup jantungmu yang sangat aku kenal. Suara langkahmu yang khas menjadi sebuah energi bagiku untuk bangkit. Tarikan nafasmu, suaramu – walaupun suaramu terdengar agak berat dan berbeda dari dulu – menyentuh gendang telingaku dengan lembut. Melahirkan semangat dan harapan baru bagi hidupku. Genggaman tanganmu menguatkan hatiku untuk mengambil sebuah keputusan yang sangat penting anakku.

***

1992

Lebaran Haji baru saja usai beberapa hari yang lalu. Bulan Haji merupakan salah satu waktu yang sangat mengembirakan bagi masyarakat di kampung halamanku. Sama ketika Ramadhan dan Idul Fitri, masyarakat melakukan berbagai kegiatan kerohanian pada bulan Dzulhijah pada penanggalan Hijriah ini. Dan salah satu kegiatan itu adalah melaksanakan akad nikah dan pesta pernikahannya.

Menurut kepercayaan masyarakat, bulan haji merupakan bulan baik untuk melaksanakan ibadah yang berlabel pernikahan. Suatu kaum akan melaksanakan akad dan pesta pernikahan bagi anak kemenakannya. Tak lama berselang, kaum yang lain juga melaksanakan hal yang sama. Bahkan dalam hari yang bersamaan aku pernah menyaksikan ibuku menghadiri tiga acara pernikahan. Tidak mengherankan kalau timbul pameo yang menyatakan bahwa bulan Haji adalah “musim kawin”, karena realitanya memang seperti itu.

Malam itu, kupandangi langit yang cerah bertabur bintang. Bulan yang masih bulat penuh menyinari kegelapan malam. Suara jangkrik sesekali ditingkahi kepakan sayap burung malam yang keluar sarang mencari makan. Gemercik air yang jatuh dari pancuran yang terletak di bagian belakang Rumah Gadang seakan mengalunkan nada yang sangat harmonis di telingaku. Ditingkahi desir angin melewati sela-sela dinding kayu Rumah Gadang mulai merenggang dimakan usia. Mengeluarkan suara desiran yang menghipnotis dan menghadirkan sensasi dingin alam pegunungan pada indera perabaanku. Membawa aroma khas alam pedesaan. Dari kejauhan terdengar sayup sampai kemeriahan sebuah pesta pernikahan, tepatnya pesta malam bainai[3]).

Cerahnya malam itu ternyata tidak mampu mencerahkan hatiku. Meriahnya suara pesta malam bainai dari kejauhan juga tidak mampu menggerakkan hatiku. Justru kegundahan yang tidak tertahankan.

“Sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu itu?” sebuah suara mengejutkanku. Kupalingkan wajah ke arah suara itu. Walau membutuhkan energi yang sangat besar, kupaksakan untuk tersenyum, berkamuflase, dan aku yakin senyuman itu sangat memuakan.

“Sudah, Bu,” jawabku lirih.

Perempuan itu menghampiri dan mengusap lembut kepalaku. Sedikit kedamaian kurasakan. Namun hanya sedikit, jauh berbeda daripada yang kurasakan beberapa waktu yang lalu.

“Ibu menghargai keputusanmu, tapi…”

“Sudahlah, Bu,” potongku.

“Kamu juga harus mempertimbangkan saran ibu…”

“Tidak perlu dipertimbangkan lagi, Bu,” kembali aku memotong pembicaraan ibu.

“Denai,” nada suara ibu sedikit meninggi. “Dengar dulu….”

“Tidak perlu lagi, Bu,” kataku sambil berjalan meninggalkan ibu.

“Denai,” kata ibu sambil berusaha menahan langkahku. “Ibu selalu mengajarkanmu untuk mendengar dan menghargai pendapat orang lain, walaupun mungkin tidak sesuai dengan pendapatmu”.

“Maaf, Bu, untuk masalah ini aku tidak bisa. Tekadku sudah bulat untuk pergi meninggalkan semua. Malam ini sayup-sayup terdengar kemeriahan malam bainai bagi perempuan itu. Besok lelaki itu akan dijemput dan akan menikah lagi”.

“Denai….”

“Aku tidak sanggup, Bu…”

“Kamu seorang laki-laki, Denai. Ibu saja sanggup menghadapinya”.

Selalu begitu. Sekarang begitu, kemaren juga begitu. Ibu selalu mencoba memberi pengertian padaku tentang pernikahan lelaki itu. Aku betul-betul sudah malas mendengarnya. Andai saja yang di hadapanku itu bukanlah ibu,…

“Alasannya untuk menikahi perempuan itu jelas dan masuk akal. Ia ingin memperoleh anak perempuan. Kamu kan tahu arti kehadiran seorang anak perempuan dalam tatanan masyarakat kita. Sementara itu…”

“Maaf, Bu,” potongku lagi, “Aku terpaksa bicara apa adanya. Blak-blakan. Di usia yang masih terlalu muda ini, alasan itu sangat naif bagiku, menginginkan kehadiran anak perempuan,…”

“Baiklah,” giliran ibu yang memotong penjelasanku. “Lantas mengapa kamu ambil keputusan untuk pergi?”

Aku diam. Sungguh sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata yang tepat.

“Beri alasanmu,” desak ibu.

“Aku tidak sanggup, Bu”.

“Tidak sanggup apa?”

“Tidak sanggup untuk menyaksikan pada hari-hari mendatang, lelaki itu datang ke sini hanya untuk mengawinimu, Ibu. Ingat, Bu, hanya mengawini. Dan satu yang paling melukaiku, ibu membohongi hati nurani ibu sendiri dengan mengizinkan dan merelakan itu semua hanya karena alasan normatif, padahal aku dapat merasakan betapa nyerinya menohok ulu hatimu”.

***

2003

Hampir seminggu aku berada tanah kelahiranku. Kampung halamanku terletak sekitar tujuh kilometer ke arah timur dari pusat Kota Tiga Kota[4]), yang berada di dataran tinggi. Berhawa sejuk dengan latar belakang tiga gunung yang memagari nagari[5]). Membiru. Menikmati gemercik air yang mengalir di sela bebatuan di sungai yang berliku. Angin bertiup di antara pepohonan. Beberapa lembar daun melayang gugur ke bumi. Hamparan sawah yang menguning berjenjang mengikuti tekstur tanah yang melandai. Senyuman kepuasan mengambang di bibir petani atas hasil kerjanya. Lenguhan kerbau yang memamah biak di bawah rindang pohon beringin yang tumbuh di pinggir sungai. Dan di sore hari itik beriringan pulang ke kandang. Malam yang pekat diisi dengan suara jangkrik dan kepakan sayap burung malam yang mencari makan. Dan di pagi hari kokok ayam dan kicau burung yang selalu mengusik tidurku.

Enam hari sudah aku setia menunggu di sini. Bau obat-obatan, amoniak, dan karbol menjadi akrab dengan indera pembauanku. Rintihan kesakitan sudah menjadi makanan rutin setiap hari. Jerit histeris, doa-doa, dan alunan ayat-ayat suci mengiringi seseorang menuju kesunyian abadi sudah akrab di telingaku.

Sayangnya, perkembangan kesehatan ibu tidak ada perubahan yang signifikan ke arah kesembuhan. Masih sama ketika pertama kali aku datang. Bahkan kadangkala justru menuju titik lebih mengkhawatirkan. Pada saat-saat seperti itu kugenggam erat tangannya yang semakin keriput itu.

Ibu, tolong bicaralah!
Hanya satu yang sangat kurindu saat ini, Ibu. Hanya satu, suaramu.

Namun asa itu semakin hari semakin menipis dan akan segera sampai pada titik terendah. Bahkan aku sempat berfikir penantianku sia-sia. Kepulanganku pun sia-sia. Tidak mampu mengubah keadaan orang yang paling kucintai.

Sedikit harapan tiba-tiba muncul. Malam itu aku dikejutkan oleh sebuah usapan hangat di kepalaku. Usapan yang sangat khas dan telah lama tidak aku rasakan. Mengacak-acak rambutku yang selalu dipotong pendek. Aku menggeliat dan hampir saja jatuh dari bangku itu. Memang semenjak kedatangan beberapa hari yang lalu, aku paling sering menemani ibu. Duduk di bangku yang ada di samping ranjang itu. Kadang kepalaku tertelungkup di sebelah tangan kanan ibu yang selalu kugenggam erat. Dan usapan itu membuat aku kaget dan langsung bangun.

Kutatap wajah ibu. Terlihat tetesan air merambat dari sudut matanya yang terpejam. Kudengar tarikan nafasnya yang sangat dalam.

Harapan itu datang. Kuusap air hangat yang mulai merambat mengikuti alur kerutan-kerutan itu. Hangat kurasakan.

“Anakku,” sebuah suara yang sangat kukenal dan kurindukan mengiang di telingaku.

“Ya, ibu,” sahutku kaget sekaligus gembira sambil mengenggam erat jemarinya yang kurus itu.

“Naif, terlalu naif,” kata ibu mengingatkanku pada kata-kataku yang dulu, “Perempuan di satu sisi sangat diharapkan dalam budaya kita. Sayangnya di sisi lain, untuk melahirkan perempuan yang diagung-agungkan itu kadang harus ada perempuan lain yang berkorbankan seperti ibumu ini. Ironis”.

Aku tersentak mendengar kata-kata ibu itu. Persis seperti yang aku pikirkan semenjak kepergianku dulu.

“Mulai saat ini, lelaki itu tidak akan pernah pulang lagi untuk mengawini aku karena detik ini aku akan menceraikannya”.

Kata-kata ibu yang sangat tajam ini memaksa memoriku untuk memutar ulang peristiwa yang kualami sebelum kepergianku. Semua tergambar dengan jelas. Semua kata-kata yang terucap dari bibirku saat ini mendapat tanggapan dari ibu.

“Denai anakku, kembalilah ke alam laut luas,” lanjut ibu, “Seperti puisi yang selalu aku bacakan untukmu. Ibu restui langkahmu”.

“Ibu….”

“Dan aku akan kembali ke balik malam, anakku….”

Suara itu semakin melemah. Melemah dan hanya meninggalkan gema panjang di hatiku.

“Ibu….” teriakku sambil mempererat genggaman jemari itu.

Sebuah tepukan di pundakku tiba-tiba membuyarkan suara ibu. Aku kaget dan mengusap mataku. Kurasakan hangat matahari menerpa kulitku. Ketika kesadaran pulih, aku mendesah lirih. Ah, ibu, apakah mimpiku itu kenyataan….

***

Aku menatap tubuh yang terbujur kaku itu. Seulas senyum menghiasi bibirnya. Kedamaian tergambar pada senyuman itu. Seakan telah melepaskan semua beban berat yang selama ini menghimpitnya.

Ibu, kembalilah ke balik malam dengan tenang, desahku lirih. Mataku sembab dan berkaca-kaca hendak mau pecah. Akan tetapi kutahan karena aku tahu ibu tidak akan suka melihat aku menangis. Kukecup keningnya untuk penghabisan sambil kubisikkan sebuah janji di telinganya yang telah tertutup oleh kapas.

Aku akan kembali ke dunia luas, ibu, kembali ke hidup bebas. Suatu saat nanti aku akan kembali ke balik malam dan kita akan bertemu lagi. Pada saatnya nanti kita akan bercerita tentang cinta dan hidupku di pagi hari. (©inal)

Keterangan :
· Edisi cetak Cerpen ini dimuat di Majalah NooR Edisi Maret 2005
· Cerpen ini juga dihimpun pada buku Kumcer Perempuan Bermata Lembut (Jakarta : FBA Press, 2005)


[1]) Tokoh utama dalam film Telegram yang diperankan oleh Sujiwo Tejo

[2]) Bait puisi Surat dari Ibu karya Asrul Sani. Pada cerpen ini puisi Surat dari Ibu merupakan salah satu inspirator terbesar sehingga pada beberapa bagian berikutnya banyak dikutip bait-bait puisi tersebut.

[3]) Malam Bainai (Minangkabau) : Salah satu rangkaian pesta pernikahan di mana dalam pesta ini kuku perempuan diinai, diberi pemerah kuku dengan daun inai (daun pacar).

[4]) Kota Tiga Kota, judul Cerpen karya Gus tf Sakai yang dimuat pada Kompas Minggu 7 September 2003

[5]) nagari (Minangkabau) : bentuk pemerintahan terkecil di Minangkabau

Puisi dan Pencarian Identitas Diri Remaja)*

•November 22, 2007 • 6 Comments

Aku mempunyai sebuah kebiasaan yaitu seringkali berjalan kaki kalau aku berpergian dalam kota. Teman-teman menyebutnya walk-coholic (maniak jalan), dimana pengertiannya kata tersebut mengacu pada pengertian istilah work-coholic. Terserah apa pun istilah yang dilekatkan pada kebiasaan itu, yang penting, selama tempat yang ditujuan berada dalam jarak yang memungkinkan ditempuh dengan “goyang lutut”, maka aku lebih suka “goyang lutut” daripada naik kendaraan.

Suatu siang, kira-kira, tiga tahun yang lalu (aku lupa tanggal persisnya), aku melewati Jalan Dago (Ir. Djuanda), Bandung. Matahari tidak berkompromi siang itu. Kulitku yang cenderung putih (sich?), sampai kemerah-merahan dipanggang terik cahayanya. Peluh mengucur dari segenap pori-pori tubuhku seperti cucian yang diperas. Debu bercampur asap dari pembakaran tidak sempurna dari mesin-mesin kendaraan yang berlalu lalang berterbangan memenuhi udara. Menambah panas, sesak, dan tentu saja melekat di kulitku, terutama kakiku yang hanya berselimutkan celana pendek sebatas lutut.

Sesampai di depan gedung sekolah menengah yang terdapat di jalan itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah batu sebesar kepalan tangan tiba-tiba melayang ke arahku. Refleks, aku meloncat. Namun loncatan itu hanya sedikit menolong, batu yang tadinya mengarah ke kepala, akhirnya mampir dengan telak di tulang keringku. Kemudian aku lihat batu-batu lain susul menyusul berterbangan. Kuperhatikan asal batu yang melayang tersebut. Terlihat dua kelompok orang, sama-sama mengenakan seragam kemeja putih dan celana panjang abu-abu, lempar melempar batu. Sementara mulut mereka berteriak dengan kata-kata makian yang ditujukan pada kelompok lain. Sejenak aku terdiam, dan kemudian aku berlari ke jembatan penyeberangan yang tidak jauh dari posisiku. Aku naiki jembatan penyeberangan itu, kemudian dari atas aku menyaksikan Perang Baratayuda zaman modern itu. Pada zaman dulu, dalam Perang Baratayuda, anak panah yang berterbangan, tapi di zaman modern ini, batu yang berterbangan. Sambil mengusap tulang keringku yang terkena amunisi nyasar, aku teringat kembali pada teori-teori yang pernah kuperoleh di bangku kuliahan dulu.

“Masa remaja sering disebut dengan masa penuh badai dan ketegangan (storm and stress),” dosenku mengawali penjelasannya. “Terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat, sehingga membutuhkan kemampuan penyesuaian diri menghadapi perubahan tersebut. Perubahan yang cepat itu juga melahirkan energi besar yang harus disalurkan oleh remaja.”

Aku tersenyum simpul di atas jembatan penyeberangan itu. Mungkinkah batu-batu yang melayang itu merupakan pengejawantahan dari energi remaja yang besar itu?

“Pencarian identitas diri (self identity) merupakan tugas perkembangan yang diemban remaja,” lanjut dosenku itu sambil memperlihatkan bagan-bagan yang ditayangkan melalui OHP. “Remaja selalu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ‘siapa aku?’ dan ‘kemanakah aku akan pergi?’ Jawaban atas pertanyaan itu yang kemudian diformulasikan menjadi standard tingkah laku, dimana dalam masa pencarian jawaban itu tentu terjadi interasi sosial, terutama interaksi dengan orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman sebaya, yang sangat mempengaruhi standard tingkah laku yang terbentuk. Seringkali terjadi perbedaan standard tingkah laku antara keluarga (orang tua) dengan teman sebaya, yang kemudian kembali melahirkan badai dan ketegangan bagi remaja.”

Aku teringat pada masa remajaku. Perubahan fisik dan mental yang cepat, yang melahirkan energi yang besar dan mendesak untuk disalurkan, proses pencarian jati diri yang diwarnai perbedaan standard tingkah laku keluarga dan teman sebaya, semua telah aku rasakan. Semua memang melahirkan badai dan ketegangan.

Beruntung aku pada masa itu mengenal dunia kepenulisan kreatif. Energi yang besar aku kompensasikan pada tulisan-tulisan kreatif seperti puisi, cerpen, buku harian, dan tulisan-tulisan lainnya. Akan tetapi, walau telah tersalurkan lewat dunia penulisan kreatif, ternyata masih banyak energi dalam diriku. Lagi-lagi pada masa itu aku menemukan penyaluran lain, yaitu membaca, dimana dengan membaca aku menabung bahan-bahan untuk menulis.

***

Tak mau terbelenggu, narsis dan penuh percaya diri / Ekspresikan diri, luapkan segala rasa yang ada / Tanpa tahu apa yang terjadi selanjutnya / Berusaha keluarkan beban di pundak / Saling berbagi cerita bersama sahabat / Penuh keceriaan dan transisi kegembiraan

(Iman Budi Santosa, Puisi rasa umur 17-an)

***

Sengaja aku memberikan ilustrasi pengalaman pribadi dan mengutip puisi Iman Budi Santosa (IBS) yang berjudul rasa umur 17-an untuk mengawali tulisan ini. Ada kesamaan antara pengalaman itu dengan isi puisi tersebut. Remaja yang aku lihat dalam Perang Baratayuda zaman modern, aku yang menyalurkan energi ke dunia kepenulisan kreatif, dan gambaran remaja dalam puisi IBS, merupakan kejadian-kejadian yang biasa terjadi di dunia remaja. Para ahli psikologi menyebutnya dengan proses pencarian identitas diri.

Pencarian identitas diri (awam : pencarian jati diri) merupakan sebuah proses eksperimen yang terjadi di masa remaja dengan cara mencoba berbagai peran untuk menemukan formula standar tingkah laku. Sebenarnya proses ini merupakan lanjutan dari proses identifikasi terhadap nilai-nilai tertentu (khususnya nilai-nilai keluarga) semenjak masa anak-anak. Menginjak masa remaja, individu akan menemukan nilai-nilai lain dari lingkungan yang lebih luas, khususnya dari kelompok teman sebaya dan tokoh-tokoh idola. Individu pada masa remaja akan mencoba menyintesiskan dua nilai tersebut. Jika nilai-nilai dalam keluarga memiliki kemiripan dengan nilai kelompok sebaya, maka proses pencarian identitas berlangsung relatif lebih mudah.

Namun seringkali terjadi perbedaan nilai antara keluarga dengan teman sebaya, atau tokoh-tokoh idola lainnya. Akibatnya, kemungkinan besar remaja akan mengalami kebingungan dalam menentukan nilai standar tingkah lakunya atau biasanya disebut dengan kebingungan peran. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya remaja mencoba tingkah laku (peran) secara berganti-ganti. Nantinya tingkah laku (peran) yang memiliki nilai penerimaan yang lebih tinggi dan menguntungkanlah yang dijadikan standar tingkah lakunya. Dan ini kemudian yang menjadi identitasnya.

Seperti yang digambarkan di atas, remaja juga memiliki energi yang besar yang membutuhkan penyaluran. Berbagai cara dilakukan untuk menyalurkan energi tersebut. Seperti yang ada dalam ilustrasi di atas, ada beberapa cara yang ditempuh remaja dalam menyalurkan energi mereka. Ada yang menyalurkan lewat tawuran, kegiatan kepenulisan, dan mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk kegiatan contohnya (pada kesempatan ini aku tidak akan menghakimi apakan penyaluran itu bernilai positif atau negatif). Disadari atau tidak, kegiatan penyaluran energi ini juga merupakan suatu proses yang sangat berpengaruh dalam pencarian identitas diri.

***

Proses pencarian identitas diri seorang remaja (dalam hal ini IBS), itulah kesan pertama yang aku temukan setelah melakukan pembacaan cepat puisi-puisi (hanya 1 jam) yang terdapat dalam antologi ini. Sebagai remaja, IBS (19 tahun), penulis buku ini, tentu memiliki energi yang besar, sebagaimana halnya remaja-remaja lain. Energi itu dia salurkan melalui kegiatan kepenulisan, khususnya puisi (aku tidak tahu apakah IBS juga menulis genre lain).

Melalui puisi-puisinya, terlihat IBS mencoba menyintesiskan antara berbagai standar tingkah laku yang pernah ditemuinya. Ia mencoba berbagai “peran” dalam puisi-puisinya. Misalnya dalam IBS mencoba “peran” sangat religius (Puisi Sebuah Hikayat, misalnya). Di sisi lain, ia terlihat memainkan “peran” yang mengenyampingkan nilai religius (Puisi About Two Guys misalnya). Ada “keraguan” dalam menentukan pilihan standar nilai yang nantinya menjadi identitas dirinya. Begitu juga dengan puisi-puisi lain. (Coba bandingkan puisi K+R+I+T+I+K dan Hakikat Puisi, puisi Zelo dengan rasa kesepian seorang demonstran). Inilah salah satu ciri khas remaja. Mereka dapat berubah secara dinamis dalam “peran” yang mereka mainkan untuk menemukan identitas dirinya.

Menjadi menarik kemudian adalah IBS memainkan “peran” yang berbeda itu dalam puisi-puisinya karena kebanyakan remaja memainkan “peran” itu dalam kehidupan nyatanya. Apakah dalam masa pencarian jati dirinya, IBS juga memainkan “peran” yang berbeda dalam kehidupan nyatanya? Tentu IBS sendiri yang bisa menjawabnya.

***

Seperti yang aku tulis di atas, bahwa aku melakukan pembacaan yang cepat (dalam pengertian harfiah) terhadap naskah-naskah puisi IBS. Aku mendapatkan naskah puisi-puisi IBS secara lengkap kemarin sore (9 Juli 2007). Aku mulai membaca jam 02.00 dini hari tadi. Dari pembacaan yang cepat itulah, banyak sekali hal-hal menarik yang dapat kita kupas lagi secara mendalam, khususnya dari aspek-aspek psikologis yang melahirkan puisi-puisi tersebut.

Menjelang jam 03.00 dini hari tadi, aku sampai pada pembacaan sebuah puisi yang berjudul Hakikat Puisi. Setelah membaca puisi ini tiba-tiba aku ingat salah seorang temanku, seorang pelukis yang tinggal di Jogjakarta. Aku sering menikmati lukisan-lukisannya. Sebagian besar lukisannya abstrak dan absurd. Ada lukisan yang berupa tumpukan-tumpukan warna yang saling tumpang-tindih di sudut kiri kanvas. Tidak ada bentuk yang jelas. Dan banyak lagi lukisan lain yang tidak memiliki bentuk yang jelas.

Siang itu dengan nada bercanda, aku iseng bertanya padanya, “Apakah kamu pantas disebut pelukis, sementara lukisanmu abstrak seperti ini. Tidak ada bentuknya, kayaknya semua orang bisa melukis seperti itu”.

“Tentu saja pantas,” jawabnya tersenyum. “Walaupun lukisanku saat ini abstrak, tapi ada kemampuan dasar yang harus dikuasai pelukis. Misalnya kemampuan melukis anatomi tubuh, atau pengetahuan dasar tentang warna” katanya memberi penjelasan. “Emangnya kamu, mengaku sastrawan, tapi tidak tahu aturan berbahasa,” ledeknya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Aku hanya tersenyum miris sambil mencoba untuk introspeksi diri. (©sangdenai)

)* Pengantar diskusi Launching Kumpulan Puisi ayah, aku benci padamu (Iman Budi Santosa), 10 Juli 2007, di Kafe Potluck, Bandung